Makan Sate Kesukaan Presiden Jokowi




Senin, 28 November 2016

Saya sedang duduk dalam bus Safari dari Semarang menuju Surakarta di saat pikiran tengah berkecamuk. Hari itu saya izin dari rutinitas magang dimana saya diberikan deadline tugas yang dalam tiga hari harus dikumpulkan. Laptop saya rusak, kondisinya mati total sehingga saya tidak mungkin mengerjakan deadline di sela-sela aktivitas saya di Surakarta. Tetapi daya pikat daerah di tenggara Jawa Tengah ini tidak mampu saya lawan. Saya mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah pilihan yang tepat, Surakarta akan memberi saya suatu cerita baru, pengalaman baru, dan teman-teman baru yang akan saya kenang seumur hidup, meskipun itu berarti saya harus lembur untuk mengejar deadline ketika pulang nanti.


Kali ini saya akan turun di Terminal Tirtonadi Solo. Sebuah terminal bus yang menurut penilaian saya dari semua terminal bus di Indonesia yang pernah saya datangi, adalah terminal yang terbaik. Bayangkan saja, terminal mana lagi di Indonesia yang ruang tunggunya ber-AC, semua penumpang naik dan turun dengan rapi di tempat yang telah ditentukan, dan petugas berseragam Dinas Perhubungan tampak berjaga pada sudut-sudut terminal siap membantu mereka yang membutuhkan bantuan. 



image
The best bus station in Indonesia
Hal yang lebih spesial lagi dari terminal Tirtonadi adalah toiletnya yang gratis. Di zaman semua serba berbayar ini, bahkan di tempat sekelas mall pun toiletnya ada yang berbayar, Terminal Tirtonadi toiletnya tetap gratis dan kerennya tetap bersih. Ada cleaning service yang berjaga di depan pintu toilet, dan memang hanya bertugas membersihkan toilet. Tidak seperti di terminal lain yang terkadang juga merangkap sebagai tukang pungli. Stigma terminal bus sebagai kasta terendah dari pusat koneksi moda transportasi pun hilang di Terminal Tirtonadi Solo. Ini tidak lebay, saya bahkan bisa menempatkan terminal ini levelnya hanya sedikit di bawah terminal bus Manchester di Inggris sana. Sungguh impresi awal yang begitu baik dari kota asal pak Presiden Jokowi ini.

Ngomong-ngomong kota asal sang Presiden, siang itu saya akan dijamu dengan salah satu menu favoritnya beliau jika pulang ke Solo, Sate Kambing. Awalnya saya merasa heran, kenapa jauh-jauh ke Solo malah tidak dijamu dengan kuliner Solo yang lebih akrab di telinga saya seperti tengkleng, selat solo, dan timlo. Saya begitu penasaran seenak apa sih sate kambing ini, sehingga dapat disetarakan dengan makanan terkenal dari Solo lainnya. Karena dalam kepala saya sudah begitu terstigma bahwa sate adalah makanan khas dari Madura, bukan dari Solo. Tetapi Karena saya juga suka mendobrak stigma, maka siang itu dengan senang hati saya melenggang pergi ke Sate Kambing Bu Bejo. Tidak saya pasang ekspektasi apapun pada sate kambing itu. Semoga saja selera lidah sang presiden senada dengan selera lidah saya. Saya malah berharap ada menu lain disana, akibat pengalaman ketika makan sate perut tidak pernah merasakan kenyang. Susah memang kalau punya kantung perut yang sudah seperti seperti tas 35 liter. 



image


image
Warung sate Bu Bejo yang selalu ramai pembeli
Sate Bu Bejo letaknya cukup terpencil untuk standar saya akan letak suatu tempat. Lokasi sate ini tidaklah strategis, jika harus dibandingkan dengan rumah makan-rumah makan legendaris sekelas Ayam Goreng Suharti, Gudeg Yu Djum, atau bahkan KFC. Lokasi warung sate kegemaran orang nomer satu di Indonesia ini berada dalam sebuah jalan yang relatif tidak terlalu lebar, dan cukup berkelok-kelok mencarinya jika memasang patokan dari jalan Slamet Riyadi Solo, jalan terbesar dan paling utama di kota itu. Tetapi saking terkenalnya, hampir semua warga Solo mungkin pernah mendengar tentang sate ini. 

Sate ini memang legendaris. Didirikan sejak tahun 1942 oleh ibu Bejo yang kala itu masih gadis. Sejak awal berdirinya sate ini, lokasinya tidak pernah berpindah. Sate Bu Bejo masih sama melayani pelanggan setianya di Jalan Loji Wetan Surakarta. Daerah Loji Wetan sendiri tidak kalah legendaris. Daerah ini dinamakan Loji Wetan yang artinya rumah besar di barat benteng. Benteng yang di maksud adalah benteng Vastenburg yang berdiri tepat ditengah kota Solo dan kemudian dijadikan patokan untuk menamai daerah-daerah sekitarnya pada zaman dulu. Dari namanya, telah tersirat bahwa daerah Loji Wetan adalah kediaman elit para bangsawan di zamannya. Mendengar kata Loji saja sudah membuat saya berkhayal tentang hidup para sinyo dan noni serta tuan dan nyonya yang suka berdansa di selasar rumahnya yang lebar. Sisa-sisa jayanya masa kolonial itu masih dapat terlihat dari deretan rumah-rumah tua di sekitar lokasi warung sate Bu Bejo di Loji Wetan Surakarta. 

Kini tibalah giliran saya untuk menuliskan pesanan. Karena saya rasa sate tidak membuat kenyang, saya memutuskan untuk memesan tongseng. Rasa lapar karena tidak sarapan sejak dari Semarang membuat saya lebih tertarik dengan tongseng, masakan berkuah yang isinya juga adalah daging kambing dan potongan kol dan tomat dalam kuah santan yang dimakan dengan nasi. Dalam benak saya, komposisi itu pasti akan lebih mengenyangkan ketimbang makan sate dengan nasi atau lontong. Tetapi saya kemudian tergoda bujuk rayu bapak dan ibu pegawai Dinas Pariwisata Surakarta, yang kesemuanya memesan Sate Buntel. Saya bertanya-tanya apa gerangan lagi itu sate buntel, apa bedanya dengan sate kebanyakan. Sungguh, Solo hari itu benar-benar membuat saya seperti orang yang linglung karena terkena rayaun maut para pegawai daerahnya. Bercanda, tetapi nyata. 

Karena memang saya orangnya akan cemas jika sedang kepo berlebihan, lebih baik saya memenuhi rasa penasaran itu dan mengesampingkan rasa lapar saya. Saya pun mencoret tongseng dan memesan Sate Buntel, yang konon menjadi spesialnya warung sate Bu Bejo ini. Usut punya usut, sate buntel ini memang spesial. Berbeda dari sate kebanyakan yang hanya sekadar potongan daging yang direndam dalam bumbu lalu dibakar, sate buntel mungkin lebih mirip seperti Sosis Jerman bakar versi Solo. Sate buntel ini adalah sate yang terbuat dari daging kambing cincang yang diberi rempah-rempah, selanjutnya daging cincang tadi dibuntel-buntel di tusukan sate dan kemudian dibalut dengan lemak dari kambing. Kemudian, buntelan lemak dan daging kambing cincang tadi dibakar dan jadilah sate buntel. Terdengar cukup menyeramkan memang bagi mereka yang mengidap kolesterol dan darah tinggi. Tetapi saya rasa bolehlah dicoba sekali-kali.



image


image
Nikmatnya daging sate buntel itu tiada terkira (Foto makan sate by Pungkyprayitno.com


image


image
Pilihan menu kambing lainnya
Diiringi alunan siter dan gendang yang langsung dimainkan oleh bapak ibu seniman jalanan di depan warung sate, siang itu saya mulai menyantap sante buntel. Dua tusuk sate buntel yang ukurannya lebih besar dari ukuran sosis jerman kebanyakan telah tersaji di depan saya, lengkap dengan sepiring nasi putih, dan es kunir asam. Sate buntel ini tersaji dengan saus kecap manis, irisan cabai, dan bawang merah. Tidak ada saus kacang seperi sate kebanyakan. Sayapun mencoba memotong bagian sate dengan sendok. Dengan mudah, lemak yang telah kering karena terkena panasnya bara api serta daging yang telah dicincang halus terlepas dari tusukan sate. Sensasi rasa ketika paduan lemak dan daging cincang itu menyentuh lidah begitu luar biasa. Lemak yang telah empuk, dan daging yang telah berpadu dengan rempah-rempah membuat aroma anyir kambing sirna dan berganti rasa gurih manis pedas yang sangat cocok berpadu dengan hangatnya nasi putih. Irisan cabai dan bawang merah semakin melengkapi kayanya rasa rempah-rempah dalam sekali suap. Sungguh suapan pertama sate buntel siang itu berhasil menjawab semua tanya dan ragu saya akan nikmatnya sate Bu Bejo. Tidak disangka, dua tusuk sate buntel dan sepiring nasi putih juga berhasil membuat saya kenyang. Sate buntel itu benar-benar besar dan padat berisi daging. Kantung perut saya pun kembali terisi karenanya. 

Setelah puas melahap habis sate Bu Bejo, saya berkesempatan bertemu dengan Bu Bejo sendiri. Beliau yang telah berusia 80 tahun lebih, masih tampak cantik dan enerjik. Beliau bahkan masih membantu karyawannya untuk mempersiapkan bumbu-bumbu gulai dan membacakan pesanan pelanggan. Ketika saya bertanya siapa saja tamu yang berkunjung ke warungnya, beliau menjawab dengan begitu bersahaja. Ada banyak tamunya, beliau tidak pernah mengingat satu-satu. Ketika saya bertanya soal kunjungan presiden ke warung satenya, beliau tak menjawab dan hanya tersenyum malu-malu. Tidak pernah sepertinya Ibu Bejo menyombongkan diri bahwa sate racikannya adalah kesukaan orang nomer satu di republik ini. Bersahaja sekali hidup orang-orang di kota ini. Saya begitu tersentuh.



image
Ibu Bejo, tetaplah sehat dan panjamg umur.
Baru beberapa jam di Solo telah membuat saya bertambah kaya dalam pemikiran dan perbuatan. Terjawab sudah kenapa Sate Bu Bejo menjadi pilihan makan siang saya di hari pertama menjelajah kota Solo. Tidak hanya sekadar karena rasanya yang nikmat, tetapi ada pula pesan tentang kesederhanaan dan konsistensi diri tersimpan di warung sate yang tidak pernah sepi itu. Karena seperti yang sering saya katakan, bahwa yang autentik tidak akan pernah mati. Warung Sate Bu Bejo pun hari ini masih terus berdiri, dan mengepulkan asap pembakaran satenya pada para pembeli. Bagi saya sendiri, permulaan makan siang di warung sate Bu Bejo ini semakin membuat pasti, bahwa tidak mengapa lembur deadline setelah pulang nanti. 

Hanya satu tanya yang belum terjawab di siang hari itu. Kenapa orang Solo meskipun suka makan kambing tetapi tidak suka marah-marah? Malah adem ayem kalem semua. Kita tunggu jawabannya di postingan selanjutnya!

CONVERSATION

7 comments:

  1. omaigatt. aku baru tau ada sate buntel yang rekom selain sate pak manto.

    Ah kapan-kapan pengen nyoba ke Bu bejo.

    Btw ini perporsinya kena berapa ya mas ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa ini enak banget kak kesukaannya presiden hehehe... Wah kmrn kalo ga saah sekitar 25rb an kak perporsinya

      Delete
  2. Bu bejo 1942 sudah ngak gadis lho, karena sudah nikah sama pak bejo hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa kak bisa... asal hidup selalu bejo aja kaya beliau :)

      Delete
  3. kapan kapan pengen nyobain juga
    siapa tau bs ketularan jadi presiden hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. amin-amin... karna siapapun bisa jadi presiden heheehhe.. dimulai dari satenya dulu :D

      Delete
  4. Salah deh nih gue baca beginian pas jam laper T.T
    Sate buntel oh sate buntel... :'((

    ReplyDelete

Back
to top