London Stories: Hilangnya Foto-Foto Mumi Di British Museum


"What I hate is ignorance, smallness of imagination, the eye that sees no farther than its own lashes. All things are possible. When we speak in anger, anger will be our truth. When we speak in love and live by love, truth in love will be our comfort. Who you are is limited only by who you think you are. I am the word before its utterance. I am thought and desire. I am a child in the throat of god."

- Book of The Dead - The Rise of Osiris

Hari itu adalah hari terakhir saya di negeri Ratu Elizabeth II. Hari sudah siang, langit London yang biru di pagi hari mendadak berubah menjadi kelabu. Saya keluar dari stasiun Underground Russel Square hendak menuju British Museum dan harus tersesat beberapa blok karena salah membaca peta di depan stasiun. Setelah melewati sebuah taman kecil dan mengikuti petunjuk arah, museum dengan gedung bak sebuah istana itu kini berdiri megah di hadapan saya. Museum nasional Britania Raya yang menyimpan ribuan, bahkan jutaan koleksi berharga dari seluruh dunia.

Mengapa saya memilih mengunjungi British Museum? Mumi! sesingkat itulah jawaban saya. Negeri Mesir dan peradaban sungai Nil nya telah membuat saya terbius pada legenda tentang Firaun dan Cleopatra. Tentang Piramida dan Dewa Ra. Tentang Mesir yang merayakan kematian sebagai sebuah kemewahan. British Museum sangat terkenal dengan koleksi peninggalan Mesir Kunonya. Koleksi museum ini adalah koleksi mumi terlengkap di dunia setelah Museum di Mesir. Ada sekitar 140 mumi dan peti mati tersimpan di museum ini. Misteri bangsa Mesir yang tersembunyi di dalam piramida selama ribuan tahun berhasil terkuak dan disebarkan pada setiap ruang-ruang pajangan British Museum. 

Interior British Museum yang Megah. Masuk ke Museum ini Gratis lho
Bidak Catur Tertua di Dunia. Terbuat dari Gading Gajah Laut / Walrus.
Langkah kaki saya percepat menaiki tangga spiral menuju ruang pameran karena hari semakin sore. Pukul 17.30 museum ini ditutup, sehingga saya tidak bisa menjelajahi setiap ruang pameran. Dari brosur museum yang bisa didapatkan dengan gratis di pintu masuk, butuh waktu sekitar 2-3 jam untuk menjelajahi setiap koleksi museum ini. Untungnya di brosur ini juga disediakan petunjuk jika kita ingin menjelajah dengan cepat. Saya memulai perjalanan dari ruang ke ruang, melihat pajangan peninggalan bangsa Eropa kuno. Mulai dari papan catur tertua di dunia, sampai benda-benda simbol awal kekristenan. 

Di museum ini juga tersimpan peninggalan dari setiap negeri yang pernah menjadi jajahan Inggris. Koleksi India, Oceania, Australia, Amerika, hingga Timur Tengah tersimpan rapi dan tentu tak ternilai lagi harganya. Menjelajahi museum ini adalah sebenar-benarnya menjelajahi waktu kembali ke masa lalu. Melihat biduk perahu orang Viking, melihat kitab-kitab kebijaksanaan Mesopotamia, melihat ukiran kayu Bali, hingga sarkofagus setiap zaman, membuat mata saya terbuka akan adiluhungnya setiap zaman dimana manusia hidup. Manusia adalah sebnar-benarnya makhluk paling sempurna di muka bumi ini. 

Merayakan Kematian

Hari beranjak senja. Kamera saya semakin susah mengambil gambar dengan cahaya museum yang seolah semakin meredup. Kini saya akan segera memasuki ruang-ruang dimana kematian adalah suatu perayaan. Ruang pamer mumi Mesir, ruang yang menjadi penantian panjang itu saya masuki. Peti mati, tata cara pembalseman, patung-patung penutup wajah, dan penjaga-penjaga makam berdiri di kanan dan kiri ruang pameran. Pengunjung yang ramai mendadak seolah sepi. Mata-mata mumi Mesir yang tersimpan di balik peti seolah melirik pada saya yang mengarahkan lensa kamera pada detil-detil tubuh mereka. Wajah-wajah mengering hasil pengawetan ribuan tahun terlihat sendu. Kematian telah memisahkan mereka dari dunia orang hidup.  

Sarkofagus Mumi Mesir
Satu-satunya foto mumi yang tersisa, itupun blur :")
Orang Mesir percaya bahwa kematian adalah pintu menuju suatu kehidupan lain. Terutama bagi para pembesar seperti Raja Firaun dan keluarganya, kematian adalah penggenapan bagi agungnya kehidupan mereka. Mereka kemudian disembah sebagai dewa, bertakhta bersama Ra dan Osiris sang dewa pujaan utama orang Mesir. Ra dewa matahari, dan Osiris dewa kematian. "Buku Orang-Orang Mati", sebuah buku kumpulan puisi dan syair berusia ribuan tahun menggambarkan indahnya kematian bagi orang Mesir. Kematian membuat mereka menjadi sang elang, kodok, matahari, anak kecil, ikan, bunga teratai, dan terang dalam kegelapan. Mereka menyongsong Ra dan Osiris dan kemudian bersatu dengan mereka.

Ajaran akan indahnya kematian itulah yang mungkin membuat megahnya cara pemakaman orang Mesir. Piramida dengan limpahan emas dan harta karun, serta hierogrif yang terukir cerita-cerita indah akan hidup dan kematian orang tersebut menjadi pengingat akan agungnya martabat seorang manusia. Melihat mumi-mumi yang kini berbaring dalam kotak kaca, membuat bulu kuduk saya merinding. Merinding membayangkan ribuan tahun lalu pesta pemakamannya mungkin mengundang keramaian bagi seluruh bangsa Mesir, atau bahkan membuat darah tertumpah karena tidak kuasa menjadi budak yang membangun piramida di tengah gurun yang panas.

Saya kemudian sampai pada sang putri raja yang meninggal ketika usia muda. Cleopatra dari Thebes, berbaring dalam peti matinya yang berbeda dari firaun-firaun lainnya. Peti matinya lebih besar, dengan bagian kepala yang membulat seperti helm astronot, tidak membentuk wajah seperti peti mati firaun biasanya. Peti mati itu diamankan dengan beberapa lapis kain kafan yang mengikat dari bagian bahu sampai pinggul. 

Inskripsi yang tertulis di peti mati berkisah tentang identitas sang Cleopatra. Mumi ini adalah mumi dari seorang putri orang yang cukup penting di daerah Thebes, Mesir, pada masa Kaisar Trajan (98-117 SM). Putri ini meninggal sekitar 150 tahun setelah putri terkenal yang memiliki nama yang sama denganya, Cleopatra VII meninggal dunia. Diperkirakan ia meninggal pada usia 17 tahun akibat penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kematiannya di usia muda membuatnya tidak hilang pesona bahkan sampai beberapa milenium setelahnya. 

Patung Dada Ramesses II (1250 SM)
Museum ini tampaknya semakin sepi. Setelah merasa cukup mengambil gambar, saya pun turun ke lantai dasar untuk melihat ruang terakhir yang memamerkan peradaban Mesir. Patung firaun raksasa, batu roseta yang menjadi kunci ilmuan menerjemahkan hierogrif, dan berbagai peninggalan peradaban sungai Nil lainnya tersimpan dengan baik, dan beberapa bahkan sudah menyatu dengan dinding marmer British Museum. Terlepas dari komentar buruk yang menganggap Inggris telah "menjarah" hasil peradaban manusia ini dari tanah aslinya, saya merasa museum ini adalah tempat yang tepat bagi umat manusia untuk belajar dan melihat kebelakang tentang sejarah nenek moyang bangsa-bangsa dalam satu tempat.

Ketika langit telah gelap, saya pulang. Sambil menyantap makan malam di kedai hamburger Shake Shack, saya memeriksa kembali hasil jepretan saya selama di British Museum. Semuanya lengkap, kecuali bagian foto di ruangan mumi. Ada yang  blur dan ada yang hilang sama sekali. Padahal saya yakin sudah memencet shutter dan melihat bahwa hasilnya sudah baik. Apa mau dikata, blog post kali ini fotonya jadi seadanya saja.

Di hari terakhir saya di London, mumi Mesir itu mungkin ingin mengajarkan kepada saya bahwa ada hal-hal yang cukup hanya disimpan di dalam hati. Bahwa harta benda dan foto-foto mumi tidak untuk dibawa mati.

CONVERSATION

1 comments:

  1. Wah. Jadi kenapa foto-foto itu bisa hilang? Berarti foto yang hilang itu foto 'wajah-wajah mumi yang mengering hasil pengawetan' itu ya? Menarik :)

    Sayang ya museum ini luput dari film The Mummy. Dikira Ahmanet akan semacam datang ke museum ini buat jemput siapanya gitu. Hehe.

    Seru nampaknya museumnya. Gratis. Koleksi banyak. Lalu brosurnya nampak beneran berfungsi. Bukan brosur copas Wiki dll. Hehe.

    ReplyDelete

Back
to top