Menonton Wayang Orang Di Taman Sriwedari


Sriwedari, nama yang saya kenal dari judul lagu band Maliq & D'essentials berjudul Setapak Sriwedari. Tetapi, ternyata Kota Solo juga memiliki tempat bernama Sriwedari, bahkan jauh sebelum lagu bernada syahdu itu dipublikasikan. Taman Sriwedari di jalan Slamet Riyadi Solo seolah menjadi perwujudan dari arti kata Sriwedari itu sendiri yang adalah taman surga. Di taman ini, air mata seorang teman mengucur deras. Di taman ini, saya terisak dalam diam. Antara sedih, bahagia, dan gelisah, apakah tempat ini akan terus indah dan bahagia seperti cerita tentang sebuah taman surga.

Hujan malam itu perlahan mereda tatkala mobil mini bus yang saya dan teman-teman blogger lainnya tumpangi tiba di pelataran Taman Sriwedari. Saya pun langsung teringat pernah berkunjung ke tempat ini beberapa tahun lalu. Tidak lama, hanya berkunjung ke pendopo besar di sana untuk minum es puter sambil melihat anak-anak berlatih menari Jawa. Hari ini saya kembali untuk menonton pertunjukan wayang orang. Pertunjukan yang begitu terkenal namun sekaligus terlupakan di taman ini.

Taman Sriwedari adalah sebuah komplek lahan yang terdiri dari beberapa bagian. Ada pendopo yang biasa digunakan untuk acara-acara guyub komunitas dan latihan kesenian, ada gedung pertunjukan untuk pentas wayang orang, juga ada taman dengan beberapa objek permainan layaknya sebuah tempat wisata. Taman ini terletak di tengah kota, tidak jauh dari rumah dinas walikota Surakarta.

Begitu tiba di gedung pertunjukan suasana gelap. Lampu tampak menyala hanya di bagian depan dekat panggung utama. Tidak ada pengunjung lain selain kami. Pikir saya, kami memang sengaja datang lebih awal supaya bisa mendapat tempat duduk paling depan. Sayapun segera mengambil tempat duduk di tengah dan paling depan, supaya bisa mengambil gambar pertunjukan dengan angle yang bagus. 

Karena pertunjukan tampaknya masih lama, saya dan teman-teman berkesempatan untuk mengintip aktivitas belakang panggung. Lampu kuning temaram, kuas-kuas, ragam palet warna perias wajah, hingga pernak-pernik pakaian penari Jawa adalah pemandangan yang saya lihat di belakang panggung. Di kamar mandi yang terbuka begitu saja, beberapa pemuda sedang mengoleskan lulur di badannya. Biar tubuhnya lebih putih bercahaya di atas pentas katanya. Tidak heran karena mereka nantinya akan tampil di pentas hanya bertelanjang dada.

Kuas-kuas dipoleskan ke tubuh untuk penampilan terbaik

Salah satu pemeran Punakawan sedang memasang kostum

Perlahan pola-pola wajah tokoh perwayangan terlukis di wajah mereka. Putih, hitam, dan merah di beberapa titik adalah warna yang dominan disapukan ke wajah para pementas. Sambil berdandan, pria-pria ini sesekali bercanda, bercerita tentang hari-hari mereka sewaktu siang. Seolah sudah terbiasa dengan segala alat make up, mereka tidak perlu lagi bantuan wanita untuk merias wajahnya. Penari wanita berada di ruang terpisah. Saya tidak boleh ke sana karena sedang berganti baju alasannya.

Hampir setengah jam menunggu semua pemain siap, saya keluar dari belakang panggung menuju kursi penonton. Kursi-kursi masih sepi. Hanya ada tambahan penonton beberapa orang, tidak sampai 15 orang. Saya menelan ludah. Tidak ada gunanya saya cepat-cepat merebut tempat duduk paling depan, karena nyatanya semua penonton bisa menonton di kursi bagian depan.

Lampu ruangan yang sudah redup kini semakin diredupkan tanda pertunjukan segera dimulai. Alap-Alapan Sukesi adalah lakon wayang orang yang dipentaskan malam itu. Jujur saya tidak paham apa maksud jalan ceritanya. Tetapi, yang membuat saya takjub adalah jumlah pemain yang terdiri dari pemeran tokoh wayang, pemusik, dan sinden jumlahnya lebih banyak dari penonton pertunjukan. Saya mengelus dada. Teman saya Pungky Prayitno menangis hampir sesenggukan di bangku penonton. Ia teringat ayahnya yang dulu sering bermain wayang, dan kini harus melihat kesenian wayang orang yang sepi dari penonton. Tidak terbayang, siapa yang akan menonton pentas malam ini jika kami tidak datang.

Penonton yang tidak seberapa, Pemusik yang totalitas luar biasa

Hampir setengah jam pertunjukan belangsung, saya hampir tertidur. Saya memang bukan penggemar musik irama Jawa, karena saya pasti akan mengantuk dengan alunannya. Tetapi, yang membuat saya semakin mengantuk adalah saya tidak paham sama sekali dialog pemainnya. Saya hanya bisa menagkap saat bagian Puno Kawan tampil melawak dan bernayanyi Bengawan Solo sebagai selingan di tengah pertunjukan. Selebihnya saya hanya bisa menebak bahwa lakon ini tidak jauh-jauh dari cerita dua orang kesatria bertempur untuk mendapatkan seorang gadis cantik jelita.

Saya beranjak dari kursi, mencoba melihat gedung pertunjukan yang sebenarnya cukup megah dan berkapasitas besar. Saya naiki tangga menuju balkon penonton di lantai dua. Saya berpikir keras tentang bagaimana agar wayang orang ini bisa dimengerti oleh semua kalangan supaya bisa banyak yang menonton. Saya membayangkan masa-masa keemasan seni pertunjukan Indonesia seperti wayang orang, ludruk, ketoprak, dll. yang membuat seluruh kursi gedung pertunjukan penuh dan menjadi sebuah keramian. Ohh indahnya masa lalu pikir saya.

Memperebutkan sang putri cantik jelita

Kini, saya melihat dari atas panggung orang-orang yang begitu mencintai kesenian menari, bernyanyi, dan bermusik tanpa kenal lelah. Saya tersadar, sepertinya bagi mereka ini bukan sekadar mata pencaharian belaka. Bukan sekadar berapa jumlah orang yang menonton pertunjukan malam ini. Bukan sekadar membuat semua orang menjadi mengerti jalan cerita.

Bagi mereka, ini adalah soal mempertahankan identitas. Tentang warisan budaya yang harus terus dijaga karena menjadi amanat dari orang tua. Malam itu, seiring dengan berakhirnya rentak gendang dan gamelan, tirai panggung wayang orang tertutup. Tepuk tangan pun menggema di ruangan yang lega itu. Malam telah berakhir bagi para pementas. Waktunya meluruhkan pemutih dan pupur penambal wajah.

Hari ini, sudah hampir sembilan bulan yang lalu saya menonton Wayang Orang Sriwedari. Yang selalu saya ingat dari pertunjukan di Sriwedari itu adalah pemikiran tentang surga. Mungkin surga itu tidaklah selalu tampak putih, terang, dan bahagia. Mungkin saja surga itu temaram, sederhana, dan membuat ngantuk. Tetapi membuat rindu untuk selalu ingin kembali kesana.

Purna sudah untuk malam ini

CONVERSATION

6 comments:

  1. Baru tau Sriwedari itu berarti surga😀
    Penggemar Maliq & D'Essentials juga rupanya.

    Saya salut kepada para pemainnya yg masih semangat melakoni pertunjukan yg seakan hidup segan mati tak mau. Sedih tentu melihat penonton yg hanya segelintir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa kak... benar, untung pemerintah juga baik sudah mengangkat mereka sebagai PNS, jadi tidak luntang lantung nasibnya

      Delete
  2. Aku belum pernah explore solo, padahal itu bagian dari jateng. Pengen banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa harus kak, dan harus nonton wayang jugaaa

      Delete
  3. Keren banget yaa kak. Sayang sepi penontonnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaaa... tugas kita kak buat terus promosi dan tentunya nonton

      Delete

Back
to top