London Stories: Sensasi Menjadi Imigran



Suhu udara menunjukkan 4 derajat celcius saat saya memasuki garbarata Heatrow, London. Saya bergegas menuju meja kecil di pojok ruangan kedatangan untuk mengisi borang keimigrasian. Tuntas mengisi borang, saya berbaris mengikuti antrian pemeriksaan imigrasi. Sebagai pemegang paspor Indonesia, saya tidak bisa mendapat kenyamanan seperti pemegang paspor negara persemakmuran yang disediakan jalur khusus, atau seperti pemegang paspor Uni Eropa yang tinggal melenggang masuk tanpa pemeriksaan. Saya harus antri sambil berharap cemas cap memasuki Britania Raya bisa terpatri di paspor saya. 


Inggris yang terkenal sebagai salah satu negara yang cukup sulit dimasuki oleh kaum migran dari negeri timur menjadi momok bagi rombongan saya. Berasal dari Indonesia, membuat mereka menaruh perhatian lebih pada gerak-gerik kami. Dalam bayangan saya, akan ada sesi interview yang cukup mengintimidasi di gerbang imigrasi nanti. Mungkin saja teman saya yang mengenakan kerudung akan diinterogasi lebih lama, mengingat tahun lalu hal itu terjadi pada rombongan seperti kami. 

Hal tak terduga terjadi, mungkin saja karena waktu sudah menujukkan waktu pukul 22.00. Ketika rekan saya siap maju menuju pemeriksaan, kami ditanya petugas pengatur antrian:

“Are you guys in a group?” Tanya petugas itu.

“Yes”, jawab kami kompak, dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati.

“All of you, go!” Seru petugas perempuan berkulit gelap berwajah tambun itu.

“We? Go? All of us?” Tanya kami dengan muka penuh keraguan.

“Faster please! All of you counter number 3!, Go!” Teriaknya tak sabaran.

Kami berempat menuju loket periksa di sudut terminal kedatangan yang maha besar itu. Paspor kami dikumpulkan dan dijadikan satu tumpukan lalu kami berikan pada petugas pemeriksaan. Hanya dua pertanyaan yang ditanyakan kepada kami. Mau ikut apa? Dan dimana acaranya? Ketika kami menjawab tempat acara di Imperial College, wajahnya langsung berpaling dari kami dan mengambil cap kemudian membubuhkan tanda autentifikasi itu pada halaman visa UK kami. Tanpa perlu menujukkan invitation letter dan segala rupa dokumen pendukung, kami diperbolehkan masuk ke Inggris. Semengejutkan itu bagi saya. Padahal di Indonesia dan Singapura meskipun kami rombongan, berbaris secara individual di belakang garis kuning adalah wajib hukumnya saat pemeriksaan dokumen keimigrasian. Sungguh kejutan yang begitu ganjil.

image
The Queen’s Terminal

Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya saya bertemu dengan Nana, seorang pria keturunan Ghana yang menjemput kami dengan mobil berlogo Addison Lee, sebuah perusahaan rental mobil di Inggris. Pak Daus pemilik Wisma Indonesia tempat kami menginap tidak bisa menjemput kami. Kami sempat bingung dengan posisi Nana yang ternyata sudah ada di parkiran sejak 15 menit lalu. Bandara Heatrow begitu luas. Meskipun ada di lantai yang sama, belum tentu mudah menemukan orang yang kita cari. 

Menunggu Nana merupakan sebuah ujian kesabaran. Suhu malam itu membuat saya mau tidak mau harus menggunakan pakaian tempur lengkap. Jaket, coat, sarung tangan, long jons, kaos kaki dan sepatu saya pakai demi menghindari beku ketika berada diluar ruangan. Saya sering menganggap remeh saran ibu yang berkata dingin Eropa bisa membunuh. Ibu saya sampai ngotot membelikan jaket baru ketika jaket yang saya beli ia rasa masih kurang mampu menangkal hembusan angin utara. Tapi benarlah ungkapan tersebut. Saya bisa mati kedinginan tanpa pakaian anti dingin yang saya kenakan. Akhirnya setelah mengatur barang kami dalam bagasi Adison Lee yang sempit, mesin mobil dinyalakan dan pemanas ruangan di dalam mobil berkerja dengan cepat membuat suhu menjadi layak untuk kehidupan kami sebagai makhluk tropis. 

Cerita sepanjang jalan begitu menarik bagi saya. Tentang bagaimana Nana bercerita bahwa London adalah kota yang tua, yang sangat sulit untuk dibenahi. Jawaban tersebut mencuat ketika teman saya berseloroh bahwa London sama saja dengan Indonesia, jalananya yang berlubang, kotanya yang bersampah dan rumah-rumah kumuh pinggir kota serta jalan yang sempit. Ekspektasi teman saya tentang kota Eropa yang serba maju sepertinya terlalu tinggi. Tetapi Nana memiliki pembelaan. Ia berkata bahwa sangat sulit bagi pemerintah untuk meng-upgrade London. Sistem kota ini telah terbentuk ratusan tahun lalu bahkan sebelum orang di Jepang, Amerika, atau Singapura sekalipun berpikir untuk membangun sistem kota seperti di London. Sistem kota seperti transportasi, lalu lintas, jalan, bahkan perumahan memang sudah tampak begitu berat menampung masyarakat yang semakin membanjiri kota metropolitan ini di usianya yang telah senja.

image
Iklan yang memberikan “harapan “ pada masyarakat

Nana bercerita meskipun dia bukan warga negara Inggris, London seolah menjadi rumah kedua baginya. Dia memang tidak peduli jalanan kota yang berlubang, atau bagaimana pemerintah berusaha keras memperbaiki sistem kereta bawah tanah yang hampir menyentuh usia dua abad. Pemerintah London memang tidak ingin masyarakat untuk tahu dan ambil pusing soal masalah jalan berlubang dan irigasi yang sudah usang. Pemerintah hanya ingin masyarakat tahu bahwa kota ini terus berbenah. Hal ini bisa terlihat dari iklan-iklan pembangunan dan pembenahan infrastruktur kota yang sangat menenangkan hati masyarakat. Meskipun pada saat yang sama masyarakat mau tidak mau harus membayar pajak yang mencekik leher, dan harga properti yang sangat mahal. 

Orang-orang pendatang seperti Nana tentulah berjuang keras untuk bisa bertahan di London yang keras. Menjemput penumpang pada tengah malam menjadi hal yang biasa demi menambah lembaran Poundsterling untuk mendukung hidup satu hari lagi. Menjadi migran minoritas tentu menjadi tantangan yang berat hari-hari ini. Sentimen negatif dan opini sumbang mungkin saja mewarnai hari mereka. Rasa cinta pada tanah air asli yang sulit pudar juga tidak bisa menjamin mereka mencintai sepenuh hati tempat tinggal barunya. Tetapi yang jelas rumah adalah dimanapun. Paling tidak bagi Nana dan teman-teman pendatang lainnya, London merupakan sumber penghidupan. Rumah yang menjamin terlindunginya hak-hak dasar mereka sebagai manusia, dan rumah yang memberikan harapan akan suatu hidup yang lebih baik.

Credit foto with Nana: Anindita Rahmasiwi

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top