Suatu Pagi di Hutan Desa Benowo Purworejo



Hutan di punggung bukit itu, pernah mengajarku bertembang tentang alam. Liuk ranting cemara di hutan itu, pernah mengajarku tentang sujud yang hakiki. 

Syair lagu dari Ratna Werry seorang penanyi lokal dari Pontianak itu tidak pernah saya lupakan. Bagi saya syairnya begitu dalam, begitu kontemplatif. Setiap pergi ke hutan pada suatu bukit, saya selalu mendendangkan lirik lagu itu dalam hati, seraya bernafas dalam-dalam menghirup oksigen yang sampai hari ini masih dengan cuma-cuma saya dapatkan. 

Saya menyanyikan kembali lirik lagu tadi pada suatu subuh, ketika nafas saya sedang terengah-engah karena harus menapaki tangga-tangga tanah menuju puncak Gunung Kunir di Purworejo. Setelah sekian lama tidak bermain di hutan, saya akhirnya kembali bersatu dengannya pagi itu. Mengejar sunrise, adalah tujuan saya. Sensasi melihat matahari perlahan merekah dari balik cakrawala begitu luar biasa bagi saya. Sayang, sepertinya saya sedikit tidak beruntung karena mendung tampak di langit hari itu. 

Meskipun alam masih melindungi matahari di balik awannya, tetapi Ia tidak pernah kehilangan pesona. Saya mengarahkan pandangan saya pada barisan perbukitan dengan pohon-pohon lebat yang menghijau bak permadani. Pinus, Jati, hingga bunga-bunga liar memenuhi hutan-hutan di sekeliling Gunung Kunir. Sayup terdengar desiran daun yang bergesekan karena tertiup angin pagi hari. Saya terdiam sejenak di tengah perjalanan saya mendaki karena begitu terpesona dengan pemandangan di sekeliling mata saya. Tidak saya rasakan keringat yang mengucur dan nafas yang semakin tersengal karena paduan suara alam pagi itu. 



Angin dan Pagi yang Hijau
Tetapi dari semua hiburan pemandangan indah pagi itu, puncak Gunung Kunir adalah favorit saya. Rasa lelah seakan sirna ketika saya bisa berdiri di puncak gunung dan tertiup angin pagi yang begitu menyegarkan. Bunga-bunga liar ikut bergoyang tertiup angin, seolah menyambut saya dengan sebuah tarian selamat datang. Saya kemudian terdiam kembali, berpikir dalam-dalam dan seketika saya merasa takut. Bagaimana jika semua ini sirna? Bagaimana jika permadani hijau itu berganti menjadi permadani berwarna-warni dari genteng-genteng rumah dan warung-warung? Bagaimana jika deretan bunga-bunga liar, pohon pinus, dan kayu jati tadi menjadi sebuah tanah lapang?

Ketika panas matahari mulai terasa menjalari kulit saya, saya tersadar bahwa lamunan saya harus segera disudahi. Saya harus segera menuju air terjun Curug Benowo di Desa Benowo, desa dimana Gunung Kunir menancapkan kakinya. Air terjun ini berada disekitar pemukiman warga desa. Baru kali ini saya melihat ada rumah-rumah warga yang halaman belakangnya adalah sebuah air terjun. Air terjun ini memang tidak terlalu tinggi, tetapi relatif lebar sehingga tampak spektakuler. Sekeliling air terjun juga telah tertata. Ada pagar-pagar dan tanaman hias, serta beberapa kursi untuk para pengunjung. 



Awalnya saya mendengar kabar bahwa saya tidak jadi berkunjung ke air terjun ini, karena baru saja terjadi longsor. Kabar longsor itu benar, meskipun air terjun masih bisa kami kunjungi. Longsornya air terjun itu terletak di sebuah sisi air terjun dan tidak berdampak terlalu banyak pada sang atraksi utama. Kata warga, longsornya hanya karena hujan lebat yang turun setiap hari. Sambil menikmati kreasi makanan dari beras ketan, saya duduk sambil melihat air terjun itu. Mencoba berpikir dan bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana jika suatu hari air terjun ini hilang? Bagaimana jika tanah di sekitar air terjun itu pada akhirnya tidak kuat menanggung beban, dan terjadi longsor yang semakin parah?

***
Saya adalah penikmat cerita orang tua saya yang menjadi saksi berubahnya hutan di desa mereka dari tahun ke tahun. Tentang sungai Lokan di Desa Tebuar, Ketapang, yang menjadi tempat bermain ayah saya semasa kecil yang hari ini sudah tidak bisa digunakan lagi bahkan untuk mandi karena terlalu dangkal. Tentang pohon-pohon dan buah hutan yang hari ini tidak dapat ibu saya lihat lagi karena hutan rimba telah berganti menjadi kebun sawit. Manusia adalah penyebab semua kehilangan itu. Karena kita terkadang abai, bahwa alam adalah kita, dan kita adalah alam. 

Melihat banyaknya keindahan alam yang hari ini menjadi sebuah destinasi kunjungan pariwisata, saya hanya bisa berharap agar asrinya tempat itu tetap terjaga. Saya tidak ingin cerita tentang rusaknya alam kembali terulang di tempat-tempat wisata tadi. Tidak perlu lagi ada longsor yang terjadi di Benowo, tidak perlu lagi saya takut permadani hijau pepohonan harus hilang hanya karena rakusnya diri kita. 





Karena ketika hutan rusak, maka kitapun akan rusak. Tidak ada lagi penjaga sumber air, tidak ada lagi penjaga kerapatan tanah, tidak ada lagi penjaga cerita-cerita magis tentang alam yang tersimpan pada liuk ranting pohon dan jejamuran liar. Maka dari itu, sekali-kali pulanglah ke rumah kita di desa. Ikutlah ibu dan ayah atau kakek dan nenek pergi ke sawah, mejelajah bukit untuk mencari jamur, atau pergi ke air terjun untuk mengambil air minum. Pada saat-saat itulah kita kan merasa bertapa luar biasanya alam, dan akan mencintainya dengan lebih sungguh.

Hutan lestari, rakyat terpuji, jagalah yang kita miliki. Selamat Hari Hutan Sedunia!

Simak Juga Tulisan Teman-Teman TBI Lainnya yah:

5. Karnadi Lim: Hutan Riwayatmu Kini
10. Olive Bendon: Keluh Kesah Pepohonan
12. Parahita Satiti: Cerita Hutan dari 3 Perempuan
13. Tracy Chong: World Forestry Day 2017: Why I Love Forest and You Should Too!

CONVERSATION

23 comments:

  1. Kak Ghana, saya suka sekali baca kisah ini sambil menikmati panorama hutan berselimut kabut ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah terimakasih Mas Edy, senang mendengarnya

      Delete
  2. Harapan kita sama ya kak. Kalaupun keindahan alam ditempat tinggal kita akan dijadikan objek wisata, semoga ia bisa terjaga, tetap alami, dan selalu lestari

    ReplyDelete
  3. cita-cita sejak kecil selalu ingin hidup di desa,hihihih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hidup di desa memang asik kak. Saya juga ingin, asal ada wifi #ehgmana

      Delete
  4. 20 tahun lagi, apakah hutan dan desa tinggal cerita dongeng pengantar tidur ? sedih kalau dilihat perubahan tanpa ada pelestarian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih juga mikirinnya kak, semoga tidak hanya sekadar dongeng pengantar tidur buat anak cucu kita yaa

      Delete
  5. Suka banget sama color gradingnya ,
    Btw ini kunjungan pertamaku disini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo terimakasih mas pujiannya, selamat datang di albertna.com

      Delete
  6. Semoga semuanya tetap lestari seperti yang ada saat sekarang. Mari kita sama-sama ikut serta menjaga dan melestarikan.

    ReplyDelete
  7. astaga, ghana selera lagunya..

    brb untuk denger lagunya Ratna Werry..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha sering terpapar kalo nonton TVRI Kalbar kak pas kecil

      Delete
  8. Ratna Werry itu yang mana ya? Aku kan lebih tua dari Ghana, tapi kok ga kenal Ratna Werry? Hihihi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha penyanyi lokal ajaa kak... sering muncul di tvri stasiun lokal kalbar pas aku kecil

      Delete
  9. Kalau hutan rusak, kita pun akan jadi sesak nafas. Lagian siapa lagi yang bisa bikin oksigen kalau bukan tanaman-tanaman yang ada di hutan itu ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget kak, kadang manusia lupa kalo pohon itu produsen oksigen yang kita butuhkan untuk tetap hidup

      Delete
  10. pelajaran SD yang masih ku ingat sampe sekarang: jangan merusak hutan. nanti bisa erosi, banjir, dan bencana lainnya. serem emang kalo hutan hancur :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga sampai hari ini pelajaran itu terus diajarkan dan dijalankan yaa kak buat seluruh penduduk bumi ini.

      Delete
  11. Duh, aku hanyut dalam ceritanya. Rasanya seperti ingin ke hutan lalu diam menyendiri di sana..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayuuuk kak Indri kita jalan-jalan lagi... kehutan, ke gunung, ke laut.. lalu biar alam yang membuat kita hanyaut dalam pesonanya

      Delete
  12. Artikel yang sangat menarik dan inspiratif sekali saya suka.
    Sukses selalu...

    ReplyDelete

Back
to top