Sore Hari Sekitar Hotel Kemajuan Ampel Surabaya


Sore itu langit cerah tak lama. Hujan sebentar lebat, sebentar mereda di Surabaya. Niat menyusuri kota lama Surabaya dari sudut Eropa, Tionghoa, dan Arabnya mendadak harus berubah. Saya dan kak Imama mengganti tujuan mencari kambing oven, kuliner terkenal dari daerah Ampel, kampung Arabnya Surabaya.

Kami parkir di seberang sebuah bangunan berarsitektur Hindis berpadu Timur Tengah. Pada fasad gedung, terukir tulisan Hotel Kemadjoean dan angka 1928 sebagai penanda tahun bangunan tersebut berdiri. Hotel ini jelas tua, dengan lahan parkir yang sempit akibat dijadikan bahu jalan. 

Jalan KH Mas Mansyur di hadapan saya cukup padat. Becak, pejalan kaki, hingga kendaraan umum terus lewat, seolah cuek pada pesona gedung hotel yang sebenarnya amatlah memikat. Terbayang masa lalu hotel ini yang menjadi tempat persinggahan peziarah dari luar pulau Jawa. 

Kini, hanya satu dua orang tampak duduk-duduk di lobby hotel. Meskipun terlihat sepi sore itu, namun tampilan luar bangunan masih sangat terawat. Dari info yang saya dapatkan, harga menginap semalamnya sangat murah, mulai dari sekitar sembilan pulu ribu rupiah. 

Bersatu dengan bangunan hotel, ada kios-kios yang berjejer dan kebanyakan menjual kuliner. Saya menuju Kedai Almutlik yang tersohor karena menu Kambing Oven-nya. Sembari menikmati sore yang biru keemasan, saya menunggu hidangan utama sambil menyantap Sambosa dan Roti Canai. Rasa rempah begitu terasa di makanan-makanan tadi. Tidak tanggung-tanggung dan begitu pas. Tidak kurang juga tidak lebih.

Tak lama, hujan kembali turun, bersama dengan datangnya menu Kambing Oven yang dari aromanya saja sudah menggoda. Kambing Oven adalah masakan ala Timur Tengah di mana daging kambing muda dilumuri rempah, kemudian dioven hingga benar-benar lunak. Tidak perlu usaha keras membagi-bagi daging kambing ini. Sedikit robekan pisau, telah mampu memisahkan serat-serat daging dari tulangnya. Kambing kemudian disantap bersama nasi, rajangan bawang merah, cabai, dan sambal kacang. Benar-benar nikmat sore itu.

Hujan amatlah lebat. Air mulai menggenang, dan perlahan merambat memasuki bangunan. Saya dan kak Imama nekat dengan payung seadanya menembus banjir karena telah menunggu terlalu lama. Genangan air setinggi betis, adalah penutup cerita kala berkunjung ke salah satu sudut Ampel sore itu. Hotel Kemajuan, Kedai Almutlik, dan lalu-lalang manusia pada gang-gang kecil sekitarnya adalah cerita manis menutup umur 22 tahun di Surabaya. 

Gang-gang di sekitar Ampel
Balon Doraemon berlatar Hotel Kemadjoean
Jalanan yang tak pernah putus lalu lalang manusia
Kedai Almutlik di deretan pintu masuk Hotel Kemadjoean
Sambosa dan Roti Canai
Kak Imama dan Kambing Oven
Daging dengan tekstur yang begitu empuk
Kedai yang sepi petang itu. Di siang hari biasanya akan sangat ramai pembeli
Kopi di etalase Kedai Almutlik
Manusia dan lingkungannya di sekitar Ampel

CONVERSATION

2 comments:

  1. Syahdu~
    Aku pernah dijanjiin sama Imama diajak keliling ke 3 kampung itu kalau main ke Surabaya. Tagih ah.

    Sepintas membayangkan bagaimana daging kambing yang berurat kuat itu bisa dengan mudah diiris menggunakan pisau. Ah enaknyaa~

    ReplyDelete
  2. Ghana, aku lagi otw ke Surabya & nyari2 referensi tentang Surabaya dari blog kamu. Aku mau ikutan makan samosa & roti canai di situ jg ah.

    ReplyDelete

Back
to top