Bali dan Kamu II: Impresi Awal Dewata


image

Pesawat mendarat mulus di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Bandara Bali ini baru saja di renovasi. Terminal domestiknya tampak lapang, berbeda dengan cerita semerautnya bandara Bali beberapa tahun lalu. Daya tarik laut Bali yang bisa kulihat sejak dari jendela pesawat membuatku sedikit lupa dengan galau ku karena gagal pergi ke Bali bersamamu. Mumpung aku sudah di Bali, aku tak mau menyianyiakan surga ini hanya untuk menangisi ketiadaanmu. Aku harus benar-benar menikmati Bali.


image
Bandara I Gusti Ngurah Rai yang baru
Bagasiku sudah diamankan oleh petugas lost and found karena aku yang tak bergegas mengambilnya. Aku memang terbiasa tinggal di pesawat hingga penumpang lain turun, dan aku menjadi yang terakhir meninggalkan pesawat. Ternyata loading baggage di bandara ini lumayan cepat sehingga aku juga menjadi yang terakhir dalam mengambil bagasi di penerbangan itu. Ku tarik koper kecil ku, ku lenggangkan kaki keluar terminal kedatangan, menuju seseorang yang telah menjemputku untuk menuju hotel. Doa ku, semoga memori indah akan terbentuk di pulau penuh pesona ini.
image
Setiap sudut Bali menampilkan identitas budaya Bali, seperti altar sembahyang kecil ini, yang bisa dengan mudah dijumpai di depan rumah-rumah penduduk
Sore sudah merekah melukiskan langit kemerahan. Negeri surga sunset ini langsung menyambutku dengan pertunjukan utamanya di sepanjang jalanku menuju ke hotel. Altar-altar sembahyang dan pura-pura kecil menghiasi di kanan-kiri lajur jalan. Identitas, itulah yang dimiliki pulau ini. Tanpa identitas sebagai daerah yang masih menjaga budayanya, maka ku yakin Bali tidaklah se istimewa Bali hari ini. Aku seolah merasa berada di belahan bumi lain di tempat ini. Bisa lari sejenak dari bising kota besar hasil bentukan kolonial dan melihat Bali, membuat ku merasakan seperti hidup dalam kota di kerajaan Majapahit modern. Ilusi memang, tetapi sungguh sangat asing berada di tempat ini. 
image
Upacara adat di Bali
image
Memberikan persembahan harian pada dewa-dewi
Biar ku ceritakan kepada kamu yang mungkin sedang membaca cerita ini, bahwa setiap orang di pulau Bali sangat murah akan senyum. Mereka sering memakai pakaian adatnya untuk sembahyang setiap hari, entah itu di altar sembahyang di depan rumah ataupun di pura-pura. Semua disini mengikuti ritme hidup sang pemimpin agama. Jika dirasa hari ini hari baik oleh sang pemimpin agama, maka tak jarang ada jalan yang ditutup untuk dijadikan lajur pawai upacara adat. Tetapi tidak ada yang mengeluh disini. Macet jalanan yang tetiba ditutup, atau harus melewatkan aktivitas duniawi untuk ikut upacara adat, bukanlah menjadi masalah besar bagi penduduk Bali. Tamparan bagiku yang bahkan harus sering kau marahi karena malas ke Gereja dan lebih memilih keluar masuk pusat belanja. 
image
Hotel Bali Kuta Resort
image
Ruang tamu hotel ku, bahkan ruang ini bisa menjadi satu tempat tidur tersendiri
Tak seberapa lama menyusuri jalan, aku tiba di daerah kuta. Aku menginap di hotel Bali Kuta Resort. Ini adalah kali kedua ku menginap di hotel berbintang empat. Biasanya aku harus sudah cukup puas meringkuk di cocon-cocon backpacker hostel. Biarlah ku rogoh kantong sedikit lebih dalam, agar perjalanan ini tidak terlalu jauh dari utopia kita dulu. Di kamar ku terdapat kamar tamu, kitchen set, kamar mandi utama, dan balkon. Kamar hotel ini sepertinya memang dirancang untuk mereka yang berbulan madu. Sungguh hotel yang special untuk ku di perlajanan perdana ku di Bali, meski aku tidak sedang berbulan madu. Ku buka pintu balkon kamar yang menghadap rimbun pepohonan kelapa di halaman belakang hotel. Ku hirup nafas dalam-dalam. Syukur rasanya bisa menikmati hidup yang indah ini. Bisa berliburan di Bali adalah mimpi ku dan mimpi banyak orang dan hari ini aku telah mewujudkan mimpi itu. Sayang, sungguh sayang kamar ini sepi. Kamar tiga puluh meter persegi itu hanya dihuni oleh ku seorang. Liburan ini indah, tetapi memang harus ku akui, tidak lengkap.
image
Uniknya Bali, modern bercampur tradisional
Malam hari ku coba susuri jalan di Kuta untuk sekedar mencari angin. Canang-canang di depan rumah-rumah penduduk semakin memberi kesan magis bagi pulau ini. Barulah ku tahu bahwa canang ini merupakan persembahan bagi dewa orang Hindu, dan pantang untuk di injak ataupun di langkahi dengan sengaja. Di dekat hotel terdapat sebuah pura. Pura itu sepertinya didirikan sebagai tempat ritual untuk warga di desa setempat. Unik rasanya melihat pura ini berdiri tegak diantara toko-toko branded dan minimarket modern. Tampak serombongan wisatawan asing berseliweran di jalanan dekat hotel, sepertinya mereka juga sedang mencari-cari café atau restoran untuk menghabiskan malam hari mereka di Bali. Ku putuskan untuk membeli kripik kentang dan sebotol air minum satu setengah liter di minimarket dan kembali ke hotel untuk beristirahat. Besok akan ku mulai perjalanan ku di Bali. Tentu seperti yang sudah-sudah, sendiri, tanpa kamu.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top