London Stories: Sambutan yang Dingin di Turki



Angin berhembus kencang tatkala pintu pesawat Turkish Airlines A330-200 dibuka di bandara Atartuk. Suhu 12 derajat celcius menyambut kami di Turki. Mantol yang telah saya siapkan sebelum turun pesawat seolah tak berguna. Saya gelagapan mencari sarung tangan untuk sekadar menghangatkan jari-jari yang terasa hampir membeku. Itulah kali pertama saya merasakan suhu dibawah 18 derajat celcius. Dingin yang sebelumnya saya cintai, kini seolah mengintai ingin membunuh raga dan semangat saya mejejak tanah Eropa.


Penghangat bus yang membawa kami menuju terminal kedatangan seolah tak dapat menangkal rasa dingin yang merasuk tulang. Untunglah perjalanan menuju terminal tidak terlalu lama. Kami langsung diarahkan pada pintu kedatangan internasional. Memasuki pintu terminal, saya tercengang melihat antrian security check yang mengular. Seolah tidak percaya pada pemeriksaan bandara Malaysia, sebelum masuk Turki kami harus diperiksa kembali. Kali ini lebih ketat. Jaket, ikat pinggang, hingga sepatu dan kaos kaki harus saya buka. Laptop juga harus dikeluarkan dari dalam tas. Teman saya lupa mengeluarkan, dan harus mengantri dari awal untuk memeriksakan laptonya. Kala melewati metal detector, mata-mata security bandara tajam melihat gerak-gerik kami. Sekilas sempat saya lihat beberapa wanita berhijab tertahan dan sedang diinterogasi oleh pihak keamanan. Ipad mereka di periksa, dan isi tas mereka digeledah. Beruntung kami semua dinyatakan aman untuk memasuki negara Turki. Sungguh kesan pertama yang begitu mengintimidasi. 

Bandara Turki tidak terlalu istimewa tetapi tetap merupakan bandara kelas dunia. Deretan toko branded dan café-café nan menggoda berjejer di kanan dan kiri jalan menuju gate keberangkatan. Kami akan menunggu sekitar 2 jam di bandara ini sebelum terbang menuju London. Hal yang paling disayangkan dari bandara ini adalah tidak tersedianya wifi bagi pendatang. Wifi bandara hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki nomor sim card lokal. Jika memiliki Lira Turki, dapat juga membeli secangkir kopi pada café-café yang tersedia dan menggunakan wifi disana. Cukup merepotkan bagi pendatang yang hanya sekadar transit untuk beberapa jam saja di Turki.
Dari pintu masuk kedatangan, antrian security check sudah mengular.
Kami cukup frustasi dengan keadaan tanpa konektifitas wifi dan Lira saat itu. Kami tidak tahu harus bagaimana menghubungi penjemput kami di Heatrow nanti. Untungnya seorang teman menemukan wifi di sebuah café yang dapat diakses gratis. Ia berdiri di dekat café itu dan mengabarkan penjemput kami di London untuk menjemput pada pukul 23 waktu London. Saat itu pula ia menyempatkan diri untuk browsing berita, dan kami baru tahu bahwa Ankara di bom tepat sehari sebelum kami datang di Turki. Bom tersebut terjadi pada tanggal 17 Februari dan menewaskan 30 orang serta 60 orang dikabarkan menderita luka berat. Semua itu terjadi saat kami tengah berada di udara. Wajar saja pengamanan menjadi begitu ketat, ibu kota negara itu diserang oleh sekelompok teroris. Terjawab sudah keheranan saya ketika melihat wajah yang aneh pada setiap mereka yang berwira-wiri di bandara petang itu. Wajah yang mencitrakan ketakutan, kewaspadaan dan harapan pada saat yang sama. 

Turki memang menjadi titik rawan bagi segala kejahatan. Letak yang begitu stretegis diantara dua benua Eropa dan Asia begitu menguntungkan para penyelundup, teroris, dan pencari suaka illegal. Turki juga menjadi batas antara region yang begitu damai dan sejahtera di benua Eropa, dan region yang begitu menderita karena konflik berkepanjangan di bagian Asia Timurnya. Suriah dan Irak yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian dunia akibat terror ISIS berbatasan langsung dengan negeri ini. Turki menjadi gerbang bagi para pengungsi Suriah dan Irak menuju tanah terjanji di benua Eropa. Letak yang begitu strategis justu akan menjadi blunder bagi negara ini apabila mereka kecolongan pada sektor keamanannya. Pantaslah jika pengamanan di gerbang udara terbesar di negara ini begitu ketat. Terlebih hasrat negara ini untuk dapat diterima menjadi anggota Uni Eropa membuat mereka tidak mau berkompromi pada ancaman dari pihak manapun. 

Beres dengan urusan penjemputan di London, kami beranjak menuju gate keberangkatan. Saat masuk gate keberangkatan kami diperiksa lagi, bahkan kali ini diperiksa manual satu persatu. Tas kami dibuka dan diaduk-aduk dengan tongkat security untuk memastikan tidak terdapat benda berbahaya yang kami bawa. Setelah lolos pemeriksaan, saya menunggu di ruang tunggu yang ramai manusia tetapi begitu senyap. Ragam wajah tampak di ruang ini. Dari yang semula mayoritas berwajah Asia di penerbangan kami sebelumnya, kini dominasi ras tertentu tak tampak. Kulit hitam, putih, sawo matang, rambut pirang, ombre, berkerudung, hingga botak ada di ruang tunggu ini. Semua menjadikan Turki sebagai titik awal mereka menuju London. Sungguh Turki merupakan melting pot bagi berbagai suku, agama, ras dan kepercayaan.

Senyap ruang tunggu ini mungkin pertanda kami telah lelah. Lelah akibat perjalanan berpuluh-puluh jam yang telah saya dan mereka tempuh sebelumnya, ataupun lelah karena teror hari demi hari mengintai dunia saya dan mereka. Atau mungkin kami semua muak dengan hawa dingin angin utara yang terus berhembus meski musim semi sudah di depan mata. 

Karena jetlag akibat 10 jam terbang dari Kuala Lumpur, saya baru tersadar lagi ketika gemerlap lampu di “tanah terjanji” sudah bergelimang di jendela pesawat. Kami akan segera mendarat di London. Biarlah saya sejenak melupakan kerasnya hidup di Asia, dan kini merasakan kerasnya hidup ala Eropa.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top