Jogja Ora Di Dol : Ku Yakin Jogja Akan Kembali




Kepada Daerah Istimewa Jogjakarta,

Ku sampaikan salam ku kepada suatu negeri yang sampai hari ini tetap menjadi istimewa. Terlebih lagi ku sampaikan hormat ku kepada sang paduka raja, yang masih berdaulat memimpin negeri yang kabarnya hari ini sedang kasak-kusuk karena tidak punya putera mahkota. Untung saja kasak kusuk itu cepat mereda, karena saya percaya hati rakyat Jogja sungguh masih terikat kuat dengan sabda rajanya. Tetapi bukan itu maksud tujuan ku mengirim surat kepadamu Jogjaku. Biarlah itu tetap menjadi amanat suci raja yang tinggal diterima rakyatnya yang juga istimewa.

 Ada sesauatu hal yang saat terakhir ku mengunjungi mu membuat hati sedikit ngelangsa. Sebelum ku beberkan apa sebab ngelangsanya hati ini, biarlah ku jelaskan padamu mengapa aku begitu repot menulis surat yang tidak akan pernah kau balas ini. Aku memang bukanlah pendudukmu, yang tumbuh besar, makan, tidur, dan berkerja pada jalan-jalan mu yang ramai itu. Aku bukanlah sang pengayuh becak di depan hotel Melia Purosani, ataupun kusir Andong yang rela mengantar penumpangnya dari Beringharjo hingga Sewon. Aku adalah anak luar Jogja. Bukan siapa-siapa. Meskipun surat ini hanyalah seperti sebuah lolongan anjing dari rumah tetangga, tetapi anggaplah pula lolongan anjing ini adalah sebuah lolongan yang mencoba mengingatkan dirimu yang sedang pulas, bahwa isi rumahmu sedang diincar oleh sekawanan pencuri.

Jogja, coba kau tanyakan kepada mereka yang tidak pernah melihat pulau Jawa tentang nama-nama kota di Jawa. Ku yakin, namamu tidak akan pernah absen dari daftar 5 besar kota yang disebut pertama kali oleh mereka. Pesona mu, istimewa mu, sungguh begitu masyhur hingga ke seluruh pelosok negeri. Coba kau tanyakan pula kepada dua insan yang sedang menjalin hati dan pernah ke Jogja. Aku yakin pasti dirimu juga tidak akan absen dari daftar nama tempat yang paling berkesan dalam kisah cinta mereka. Sungguh Jogja, mungkin pada kota mu lah asal mula virus baper berasal. Bagaimana tidak, siapa manusia yang tidak akan tersentuh dengan suatu sentuhan kemanusiaan yang selalu kau hadirkan. Musik, tari, puisi, buku, lukisan, hingga senyum dan getirnya hidup, seperti selalu menjadi sebuah perayaan di Jogjakarta. Itulah yang aku rasa membuat Jogja bisa disebut istimewa, selain karena sistem pemerintahannya yang memang berbeda dari derah lainnya di nusantara.

Ku ceritakan padamu Jogja, mengapa kau begitu ku cintai. Sejujurnya ku katakan bahwa ikatan batinku padamu sungguhlah kuat. Awal terciptanya diriku sebagai manusia bermula dari kotamu yang mampu menyatukan tali kasih antara Gejayan dan Colombo. Dari Realino, ayahku sering menjemput ibuku di Syantikara untuk berjalan bersama semasa muda dulu. Dua insan yang sama-sama berasal dari Kalimantan itu bertemu di Jogja, kala mereka berkuliah di kota pelajar yang juga telah menciptakan ratusan bahkan ribuan kisah yang sama seperti kisah cinta kedua orang tuaku. Sungguh kota mu adalah tempat yang selalu memungkinkan dua hati untuk saling berlabuh. Karena setiap deret tembok mu, setiap jengkal aspal jalanan mu, adalah lembar-lembar yang selalu kosong dan siap untuk di isi oleh individu – individu yang hidup di kota mu. 

Jogja, bagiku pribadi dirimu adalah suatu tempat dimana segalanya bermula. Kota tempat kali pertama aku mendarat di tanah Jawa adalah Jogjakarta. Kota yang juga menjadi alasan diriku naik pesawat untuk pertama kali, melihat kereta api untuk pertama kali, dan minum susu murni nasional untuk pertama kali adalah Jogjakarta. Masih ku ingat bertapa berkesannya sensasi rasa dari susu segar nasional cokelat dan stoberi yang menjadi minuman pertama ku kala tiba di Bandara Adisucipto 15 tahun lalu. Di Jogja pula aku bertemu toko buku pertamaku. Masih teringat kala aku membeli buku mewarnai Doraemon di Gramedia di dekat rumah sakit Bethesda itu. Rasa-rasanya begitu mewah toko buku itu. Membuatku bangga seolah si anak udik berumur 6 tahun ini telah berhasil menaklukan sang kota besar bernama Jogjakarta. Kala itu, Jogja membuat ku terpana akan kemampuannya memadukan tuntutan modernintas dengan harapan orang-orang kecil yang juga masih bergantung padanya. Meski aku berbelanja di toko gedongan, minumku masih segelas susu dari penjual gerobak, pulang ku masih diantar dengan becak. Sungguh begitu manis Jogja kala itu. 

Tetapi narasi indah yang kutulis itu sepertinya hanya tertulis pada buku keluaran dasawarsa lalu. Terakhir aku mengunjungi mu, tak kurasa sambutan itu masih sama seperti dahulu. Timeline social media ku hari-hari ini juga berkata begitu. Kau seolah telah menjadi bisu, beku, dan kaku. Tempat perjuangan itu kini menjadi bisu karena apresiasi terhadap buku, seni, lagu, dan film tidak lagi seperti dahulu. Tempat untuk melakukan apresiasi terhdap karya cipta manusia itupun bahkan pelan-pelan diberedel satu persatu. Kau beku. Kini kau lebih bertangan dingin, dan seolah telah tercerabut dari hangatnya musyawarah dan mufakat yang menjadi ajaran adiluhung nenek moyang mu. Pedih hati ku melihat aksi gusur menggusur aparatmu di daerah Bantul hari itu yang kau lakukan dalam rangka ekspansi pariwisata yang ku rasa bukan barang baru bagimu untuk bisa sedikit lebih lunak dan adil dalam menatanya. Resah hati ku melihat sentuhan kemanusiaan pada penjual peyek jingking dan nelayan-nelayan kecil di pantai-pantai mu yang mungkin akan segera hilang terganti beach club ataupun resot pribadi dalam dua tiga tahun kedepan. Itulah potret Jogja yang kulihat dan kurasakan hari-hari ini. 

Jogja, sekali lagi ku ceritakan bawa aku bukanlah seperti mereka yang memang makan dan tidur dari hasil tanahmu. Jadi bukan hak ku untuk menentukan mana Jogja yang lebih baik; Jogja hari ini, atau Jogja di masa lalu. Bisa saja Jogja kenyataannya lebih baik hari ini, karena rakyatmu terlihat lebih sejahtera karena bisa memakai seragam front office hotel yang bagus, ataupun bisa berkerja di butik ternama dari luar negeri yang bisa bikin orang antri sejak dini hari untuk bisa berbelanja pakaian di sana. Tetapi janganlah terkecoh Jogjaku, jangan sampai mereka yang tidak pernah tahu tentang dirimu – orang-orang sepertiku ini – turut mendulang pundi-pundi untuk mereka sendiri hanya karena mereka punya kuasa dan koneksi. Aku tidak rela sentuhan kemanusiaan mu lenyap hanya karena kehadiran penguasa-penguasa baru itu. Aku tidak rela Jogjaku yang begitu adiluhung seni dan budayanya, seketika hilang karena pemikiran-pemikiran praktis berjudul kreatif tapi non substantif dari genrasi-generasi barunya. 

Aku sungguh rindu Jogja dimana orang suka membaca, dimana diskusi penuh substansi terjadi pada deret-deret angkringan, dimana Jogja menjadi tempat berlindung dari segala tekanan bredel dan pembungkaman yang meraja di tempat lain di republik ini. Sejarah bahkan mencatat bahwa sejak zaman kolonial, kota mu lah yang menolak hadirnya Belanda, bahkan pernah sebuah wilayah bernama Republik Indonesia di zaman itu hanya terdiri dari wilayah Jogjakarta. Independensi Jogja, dan kesetiaannya melindungi rakyat republik ini tidak pernah terkhianati.

Jogja, sejujurnya aku takut menuliskan surat ini. Aku takut terjerat UU ITE ataupun pasal perbuatan yang tidak menyenangkan. Hari-hari ini terasa semakin sulit untuk bersuara jika punya pemikiran yang berbeda. Hati ngelangsa ini pada akhirnya hanya akan tetap ngelangsa, karena diriku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menulis, wahai Jogjaku. Aku hanya bisa berharap ada kawan sejawat yang masih satu pemikiran untuk bisa terus menggongong membangunkan mu dari tidurmu yang begitu pulas. Semoga kau segera terbangun. Masih ada bapak-bapak kusir andong, dan ibu-ibu bakul pasar yang setia menunggu langkah-langkah mu. Aku hanya berharap, ketika kau bangun nanti masih tetap ada air bersih yang disisakan oleh hotel-hotel mu agar kau bisa tetap mandi, agar raga mu kembali segar sebelum siap berjuang merebut kembali kehidupan. Karena bagiku hidup di kotamu adalah soal berjuang. Berjuang dalam keadilan. Berjuang dalam semangat kemanusiaan. Aku berharap kau belum menjual perjuangan itu. Aku berharap kau masih sanggup untuk mengusir pencuri ilmu, pencuri seni, pencuri tanah, pencuri kebebasan berkespresi, dan pencuri semangat iba dan humanis dari kota mu yang istimewa. Ku yakin Jogja akan kembali.

Tertanda
Diriku yang begitu mencintai kotamu.







CONVERSATION

2 comments:

Back
to top