Pagi itu saya bergegas bangun pagi, Mandi dan
berdandan. Tidak ada hari bermalas-malasan. Batik terbaik seumur hidup yang
telah saya persiapkan dari Indonesia saya keluarkan dari koper dan langsung
dikenakan di badan saya. Kemilau emas batik kemudian saya padukan dengan
setelan celana bahan hitam, sepatu pantoefel dan tata rambut klimis basah efek
gel rambut. Hari itu adalah salah satu hari spesial bagi kami. Kami akan berkunjung
ke Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Britania Raya dan Irlandia.
Waktu pertemuan kami dengan KBRI dijadwalkan
pukul 10 pagi. Sudah diwanti-wanti agar tidak terlambat, pukul 8 kami sudah
naik Underground menuju daerah Grosvenor Square, di pusat kota London. Sekitar sepuluh
menit berjalan mengelilingi Grosvenor Square yang ternyata adalah taman, kami
melihat sebuah gedung dengan bendera Asean dan Merah Putih berkibar di
balkonnya. Kami telah tiba di KBRI London. KBRI London terletak di daerah yang
sangat strategis. Daerah ini merupakan pusat dari kedutaan negara-negara di
Inggris. Di sebelah kedutaan Indonesia berdiri megah kedutaan besar Amerika
Serikat. Tidak jauh dari situ juga berdiri kedutaan Italia, Singapura, dan
banyak negara lainnya. Indonesia sebagai negara besar berhasil menyejajarkan
diri dengan bangsa besar lainnya, setidaknya dalam mencari lokasi kedutaan
besarnya.
Bentuk bangunan Eropa yang seperti rumah
tinggal elit itu berpintu kayu berwarna hitam dengan kaca patri emas. Di atasnya terdapat kaca patri
yang di tengahnya terdapat emblem Garuda Pancasila keemasan. Saya menekan bel bermicrophone
yang biasa ditemukan di hampir setiap kantor di London. Dari speaker yang
tertanam di bel, kami tahu bahwa pintu tidak terkunci sehingga langsung saja
kami mendorong pintu kayu hitam itu dan masuk ke dalamnya. Kami disambut
seorang wanita paruh baya berwajah Indonesia yang menjaga receptionist. Setelah
kami menerangkan maksud kedatangan, ia mengarahkan kami ke ruang tunggu tamu. Ruangan
hangat dan senyum ramah Indonesia yang menyambut saya berhasil membuat saya merasa
seperti berada di rumah sendiri.
Merah Putih di London
Kedutaan Indonesia di London ini jauh dari
kesan seperti kedutaan negara barat yang berada di Indonesia. Jika di negeri kita kedutaan
negara asing serba tertutup, dengan pengamanan ketat dan kaku, maka di KBRI
London pintu dibuka selebar-lebarnya kepada siapa pun yang ingin berkunjung. Dari
sekadar warga negara Indonesia yang ingin berkonsultasi soal urusan
kewarganegaraan, nenek-nenek tua yang ingin bertanya soal Indonesia, hingga
kaum-kaum seperti kami: mahasiswa yang rindu makan nasi dan hanya merepotkan
petugas KBRI dengan urusan pinjam printer dan cek bagasi yang hilang. Semua mereka
layani dengan senyum khas Indonesia, kerja yang cepat, dan profesional. Terbukti,
bagasi teman saya yang sesat sejak kami tiba di Heatrow bisa tiba dalam waktu
singkat setelah diurus dengan surat sakti yang diberikan oleh KBRI. Padahal kami
telah mengurus sendiri bagasi itu lebih dari seminggu sebelumnya, dan tidak
pernah ada kabar berarti. Diplomat-diplomat Indonesia ini sungguh mampu
membuktikan kualitas kerja tingkat dunia.
Tidak lama menunggu di ruang tunggu, kami
bertemu dengan mbak Dethi Silvidah Gani, Sekretaris Tiga KBRI London. Dia mengantarkan
kami menuju ruang aula KBRI untuk bertemu dengan bapak Duta Besar Dr. Rizal
Sukma. Pak Rizal kala itu baru saja ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk menjabat
sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Britania Raya dan Irlandia menggantikan bapak Teuku Mohammad Hamzah Thayeb. Setelah
acara dengar pendapat dengan beliau soal kegiatan kami di London, beliau juga
memberikan petuah-petuah tentang persaingan global, rasa percaya diri, dan
semangat kompetisi yang sangat penting di zaman ini. Mirip-mirip seperti apa
yang pak Jokowi biasa sampaikan soal pentingnya persaingan global di
pidato-pidato kenegaraannya. Acara seremonial berakhir dan ditutup foto bersama
bapak duta besar. Bangga rasanya berhasil berfoto bersama RI 1 untuk Britania Raya.
Berfoto bersama Dubes RI untuk Britania Raya
Hal
yang paling ditunggu-tunggu tiba. Makan siang
bersama. Telah tersaji makan siang prasmanan dengan menu khas Indonesia.
Rendang, semur ayam, sayur sop, sambal, kerupuk, dan yang paling
dinanti, nasi.
Sudah hampir dua minggu di London, rasa rindu mengecap nasi hari itu pun
terbalaskan. Tidak malu-malu, saya mengambil porsi cukup
banyak. Minuman juga disediakan banyak varian. Mulai dari air putih, jus
kotak Ribena,
hingga kopi dan susu siap untuk dipilih. Jamuan ala KBRI London semakin
membuat
saya bersyukur bisa berkunjung ke sana kala berada di tanah yang jauh
dari ibu
pertiwi.
Jamuan siang itu ternyata juga digabungkan
dengan hidangan makan siang bagi staf kedutaan. Saya kemudian bertemu dengan
seorang berwajah barat dengan setelan jas yang juga ikut makan bersama dengan
kami. Sedikit mengejutkan karena hampir semua staf KBRI yang saya temui adalah
orang Indonesia asli. Beliau menyapa saya ramah dalam Bahasa Indonesia. Pikir saya
beliau pastilah orang Inggris yang bekerja di KBRI yang sudah mahir berbahasa Indonesia.
Percakapan berlanjut dari sekadar bertanya tentang kegiatan saya di London,
hingga isu-isu tanah air. Kami berdiskusi tentang Gafatar yang sedang
hangat-hangatnya kala itu. Kami juga berdiskusi tentang Pancasila yang digugat
oleh sebagian kalangan sebagai dasar negara republik ini. Sampailah pada cerita
bahwa beliau berasal dari Timor Leste dan cerita saya yang ingin berkunjung ke
Timor Leste untuk merasakan natal di sana. Rencana saya itu ditentang oleh beliau,
dan beliau menyarankan saya lebih baik berkunjung ke Manado atau Maluku. Dalam hati
saya, pastilah bapak ini berasal dari kalangan pendukung integrasi Timor Leste.
Bahagia merasakan nasi jauh dari rumah
Akhir
pembicaraan kami ditutup dengan
diberikannya kartu nama beliau kepada saya. Terkaget-kaget saya membaca
kartu
namanya. Beliau adalah Colonel Rui Duarte, Atase Pertahanan Republik
Indonesia
untuk Britania Raya. Beliau adalah seorang pemuda keturunan Portugis
Timor
Timur yang pada tahun 1993 lulus dari Akademi Militer dan sekarang
menjadi
anggota TNI Angkatan Darat. Seseorang yang mungkin di kampung halamannya
menjadi momok akibat cerita-cerita perang antara angkatan bersenjata RI
dengan
pejuang kemerdekaan Timor Leste di era 90an dulu. Nasionalisme Colonel
Duarte pada Indonesia
tidak tergoda pada utopia kemerdekaan di tanah kelahirannya. Baginya
mungkin
saja pilihan untuk membela Indonesia adalah kemerdekaan itu sendiri.
Sayang sekali saya tidak sempat mengambil gambar bersama beliau.
Usai makan siang, rombongan kami kemudian merepotkan
staf KBRI dengan cerita meminjam printer untuk mencetak dokumen kegiatan kami
di London. Untung saja petugas KBRI tersebut mau mengabulkan permintaan kami yang
teledor tidak mencetak dokumen sejak di Indonesia. Kami kemudian menunggu di
receptionist di saat seorang nenek datang dan bertanya-tanya soal visa untuk
berkunjung ke Indonesia. Nenek tersebut bermaksud menjenguk temanya yang sedang
sakit di Bali. Beliau ingin berkunjung selama kurang lebih 40 hari sedangkan
gratis visa masuk Indonesia bagi warga Inggris hanya 30 hari.
Salah satu kata bijak di sudut dinding KBRI London
Nenek itu kemudian bertanya bagaimana
alternatifnya untuk bisa berkunjung ke Indonesia selama 40 hari. Petugas konsuler
KBRI kemudian menjelaskan dua alternatif bagi nenek itu. Pertama, sang nenek
tidak perlu apply visa dengan catatan ketika sudah hampir habis free visanya
nenek tadi keluar Indonesia, seperti ke Singapura atau Malaysia dan kembali
lagi masuk Indonesia untuk mendapat free entry 30 hari berikutnya. Alternatif
kedua, nenek tadi apply visa kunjungan yang belaku selama 60 hari dengan biaya
40 Poundsterling. Nenek tadi ngotot tidak mau mengambil visa 60 hari itu karena
dia hanya ingin berkunjung 40 hari dan berkata bahwa tarif 40 Pound itu mahal baginya yang hanya seorang janda pensiunan.
Lama berdiskusi dengan alot, nenek tersebut
masih ngotot bahwa harga 40 pound yang ditetapkan oleh kementrian luar negeri untuk pembuatan visa itu
sangat mahal. Akhirnya staf konsuler memanggil kami dan berkata kepada nenek
itu
“Mereka dari Indonesia, dan perlu apply visa
ke UK” Cerita sang konselor pada nenek itu.
Kami mengangguk, dan semangat membela sang
konselor yang sudah sedikit kesal akibat ngototnya nenek tadi soal biaya
pembuatan visa yang mahal.
“Coba kalian bilang berapa kalian bikin visa
UK” Tanya konselor pada kami.
“130 Pound” jawab kami serempak.
Nenek tadi nyengir meremehkan dan menjawab
“This is UK, center of the world! Ini London! Kamu
dapat apa pun di sini. Teather, perpustakaan, taman. Ini Britania Raya dan harga segitu
seusai”
Tiba-tiba hati saya panas dengan kalimat
bernada superioritas dari nenek tadi. Enak sekali pikir saya bahwa pusat dunia
hanya diukur dengan taman, perpustakaan, teahter dan segala konsepsi barat akan
peradaban. Saya adalah seorang pengagum adab barat, tetapi bukan berarti adab timur lebih
rendah martabatnya. Sontak saya menjawab nenek tadi
“But we have beaches, we have beautiful temples
and arts, and most importantly we have sun that shines every day that make us
always smile.”
Nenek tadi terdiam. Setelah ditegaskan oleh
konselor dia hanya memiliki dua pilihan untuk masuk Indonesia, ia
menggerutu
pergi dari kedutaan. Ia mungkin sudah lupa akan temannya yang sakit di
Bali
akibat perasaan superioritasnya pada sebuah negara berkembang nun jauh
di
tenggara bekas jajahannya dulu. Ia mungkin kesal dengan orang-orang
Indonesia
yang tidak mau kalah bersilat lidah seperti kami dan konselor yang
begitu tegas
mempertahankan martabat negeri ini di depan seorang nenek pensiunan
sekalipun. Tetapi yang
terpenting kami puas telah mempertahankan martabat negeri ini bahkan
ketika
kami jauh sekali dari Indonesia. Kami puas membela hasil pemikiran
pembuat
kebijakan luar negeri Indonesia dari serangan pesan superioritas proses
visa UK
yang njelimet berharga ratusan Poundsterling yang menurut nenek tadi
sesuai dengan apa yang akan didapatkan di Inggris. Saya bangga dengan
konselor-konselor Indonesia yang begitu terlatih menempatkan diri
melayani masyarakat secara langsung. Keramahan ala Indonesia masih tetap
terpancar
meski menghadapi masyarakat yang menjengkelkan.
Di KBRI London akhirnya saya belajar bahwa kita
bukanlah bangsa yang bisa diatur oleh orang lain. Kita adalah bangsa yang
merdeka semerdekanya mulai dari pikiran hingga perbuatan. Kita berdiri sejajar
dengan negara dan bangsa lain karena memang kita pantas, bukan karena sekadar
meminta-minta untuk disejajarkan. Cerita tentang mencintai negeri ini dari
sekadar makan nasi di luar negeri, menjadi pembela negara lain saat tanah
airnya menuntut kemerdekaan, hingga cerita tentang semangat nasionalisme dan disiplinnya
hidup sebagai Indonesia di luar negeri, adalah cerita lain yang semoga saja
membuat pikiran kita semakin terbuka dan merdeka dari hanya sekadar mendengar
berita tentang Awkarin dan Kopi Mirna.
Dirgahayu Indonesiaku ke 71, MERDEKA!
Kapan lagi berfoto bersama RI 1, meskipun cuman punya duta besar hehehe
0 comments:
Post a Comment