Selalu Ada Yang Baru di Jakarta


image

“One’s destination is never a place, but a new way of seeing things”
Deru kereta commuter line jurusan Kampung Bandan yang datang, membuat saya bergegas berdiri di tangga naik kereta. Kereta yang saya naiki dari Stasiun Pasar Senen ini, adalah kereta pertama hari itu. Duduk di kursi kereta yang masih lengang, saya mencoba meluruskan kaki dan memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh yang kelelahan akibat perjalanan panjang dari Semarang.  AC commuter line yang dingin menambah nyaman istirahat instan saya itu. Perlahan mentari mulai menyingsing. Saya harus turun di stasiun Kampung Bandan untuk berganti kereta menuju Jakarta Kota. Di kejauhan, terlihat diskotik Alexis yang megah dibayangi awan mendung Jakarta pagi itu. 


Menuju Jakarta Kota, kereta mulai ramai. Tampak mahasiswa dan beberapa karyawan asik mendengar musik dari smartphonenya. Mereka berangkat pagi sekali, mungkin menghindari macet atau karena memang ingin mendapat tempat duduk di kereta. Tak lama, kereta tiba di Stasiun Jakarta Kota. Stasiun yang juga dikenal Stasiun Beos ini, menjadi awal perjalanan saya untuk mengenal lebih dekat Jakarta. Terletak di kota tua, maka stasiun ini sangat strategis sebagai titik permulaan menuju cerita masa jaya Jakarta ketika masih bernama Batavia.

image
Suasana pagi di Stadhuisplein

Kota tua Jakarta pagi itu masih tampak lengang. Sesekali tampak petugas kebersihan menyapu jalanan, dan supir angkot menawarkan tumpangan.  Dari Stasiun Beos saya menuju Stadhuisplein, lapangan di hadapan balai kota Batavia, yang pada masa ini menjadi Museum Sejarah Jakarta, atau Museum Fatahilah. Suasana pagi itu didominasi oleh mereka yang berolahraga. Beberapa pedagang makanan mulai mengangkut dagangannya, penuh harap hari itu akan banyak pengunjung datang ke kota tua. Saya yang sudah menargetkan diri harus berkunjung ke Museum Fatahilah dan Museum Wayang, harus sedikit lebih bersabar. Sejarah Jakarta masih ingin lebih lama tidur di peraduannya. Museum yang saya ingin kunjungi baru akan buka dua jam lagi.

Bosan menunggu, saya iseng menyusuri Kali Krukut hingga bertemu Jembatan Kota Intan. Dua pilar hitam yang sudah berdiri lebih dari satu abad lalu tampak masih kokoh menyangga jalur pejalan diatasnya. Jembatan ini sungguh unik, karena dapat diungkit dan terangkat sehingga kapal-kapal bisa melewati Kali Krukut, masuk jauh kedalam kota. Tak lama saya di jembatan ini. Dua tiga pemuda yang menyeberang jembatan melihat tajam ke arah saya. Mungkin asing bagi mereka melihat seorang pemuda, sendiri, sepagi ini, bermain ke daerah yang memang bukan favorit untuk solo traveling di Jakarta. 

Saya kemudian menyusuri kampung-kampung kumuh di sepanjang Kali Krukut hingga bertemu Jalan Pasar Ikan. Menara Syahbandar Museum Bahari di depan jalan menarik perhatian saya. Datang terlalu pagi, saya juga harus menerima kenyataan bahwa museum ini masih belum beroperasi. Tak hilang akal karena kehabisan tujuan, saya putuskan untuk memulai perjalanan sesungguhnya; tersesat di Jakarta. Saya putuskan untuk menyusuri pasar ikan di utara Jakarta pagi itu. Saya blusukan memasuki kampung nelayan dengan rumah yang berderet rapat. Tampak beberapa nelayan mengangkut hasil laut dan ibu-ibu berteriak menawarkan ikan pada para pembeli. Gedung pencakar langit yang mulai membayangi di selatan, seolah tidak banyak mengubah cara hidup mereka.

image
Kampung Pasar Ikan yang dikepung Pencakar Langit
image
Dari Kampung Ikan menuju Sunda Kelapa

Seketika saya tersadar, bahwa kampung ini tak jauh dari tempat awal berdirinya Jakarta, Sunda Kelapa. Dari seorang ibu yang saya tanya, saya bisa menyeberang ke Sunda Kelapa dari dermaga di ujung kampung pasar ikan. Sepuluh ribu rupiah saya berikan pada seorang bapak pengojek perahu untuk mengantar saya hingga sunda kelapa. Pasar ikan dan Sunda Kelapa memang terpisah oleh Kali Krukut. Dari pada saya memutar hingga jembatan dekat Musuem Bahari, lebih baik saya naik perahu sambil melihat desa nelayan Jakarta membangun optimisme hidup mereka dipagi hari. Yang jelas, semua orang disini begitu bersemangat dan seolah selalu tersenyum meski hidup mereka tidak bergelimang harta. 

Sunda Kelapa cukup berdebu pagi itu. Saya sedikit shock, karena tiba-tiba handphone saya berulah dan menghilangkan sebagian besar foto yang diambil di pasar ikan. Saya tak lama di Sunda Kelapa, karena debu dan panas matahari di pelabuhan yang didominasi kapal phinisi itu membuat saya ingin segera mencari pelepas dahaga. Saya mencari bajaj dan segera kembali ke lapangan museum Fatahilah. Waktu sudah hampir tengah hari, saya putuskan hanya masuk kedalam Museum Fatahilah dan tidak ke Museum Wayang karena waktu yang terbatas. Museum ini berisi penjelasan sejarah Jakarta, hingga pedang dan penjara yang menjadi saksi bisu cerita kelam eksekusi-eksekusi di halaman museum ini ratusan tahun lalu. Museum Fatahilah juga membuat saya tergoda menysuri suatu tempat lain di selatan Jakarta, Museum Taman Prasati.

image
Pedang yang konon dipakai untuk hukuman pancung, disimpan di Museum Sejarah Jakarta
image
Halaman Belakang eks Balaikota Batavia

Dari kota tua, saya naik bus Trans Jakarta yang ternyata sangat nyaman. Tak butuh waktu lama, saya sudah tiba di Jakarta Pusat. Saya memutuskan untuk pergi ke Monas sebelum ke Museum Taman Prasasti. Saya pergi ke Monas untuk mewujudkan impian kecil saya yang akhirnya bisa tercapai. Monas bagi warga non-Jakarta seolah menjadi tempat yang wajib dikunjungi ketika bertandang ke ibu kota. Lelah mengantri naik ke puncak Monas akan terbayar lunas ketika bisa melihat megahnya Jakarta dari puncak tertingginya. Pemandangan kumuh pasar ikan, kini berganti hijaunya Jakarta dengan semarak pembangunan sejauh mata memandang.

image
image
Pemandangan Jakarta dari puncak Monas
image
image
Museum Taman Prasasti

Puas melihat ikon negeri ini, saya beranikan diri untuk pergi ke sebuah tempat bersejarah lainnya di Jakarta, Museum Taman Prasasti. Museum yang terletak di sebelah kantor walikota Jakarta Pusat ini berisi nisan kuburan mereka yang dulu pernah dimakamkan ditempat ini. Ya! Museum ini merupakan bekas kuburan Belanda dan kemudian diubah menjadi museum pada zaman gubernur Ali Sadikin. Patung-patung malaikat, harpa, salib, dan prasati berukir nama dan pesan dalam berbagai Bahasa terpatri di museum ini. Museum ini merupakan museum terbuka yang sungguh rindang, yang juga berfungsi sebagai paru-paru kota. Saya merasa sangat teduh di tempat ini. Kesan seram berhasil ditanggalkan, dan museum ini menjadi tempat kita bersahabat dengan kematian serta sejarah masa lalu. 

Hari sudah cukup sore. Saya kemudian menyinggahkan diri di sebuah mall yang juga menjadi ikon dari Jakarta, untuk bertemu seorang teman lama dan menunggu waktu pulang tiba. Menelisik Jakarta tentu tak akan habis dalam 24 jam. Tetapi kota ini akan selalu hidup 24 jam, dan telah menjadi magnet bagi para pendatang sejak zaman kesultanan Banten, VOC, Jepang, Hingga kini zaman merdeka. 

Ditengah sepi stasiun Kampung Bandan tempat saya menunggu kereta kembali menuju Pasar Senen malam itu, saya tersadar bahwa Jakarta telah mengubah cara pandang saya tentang berjalan. Bahwa berjalan bukanlah tentang destinasi, tetapi bagaimana cara kita melihat hal baru dari destinasi itu. Meski Kota Tua, Pasar Ikan, Monas, Sunda Kelapa, dan Mall-Mall Jakarta sudah ada sejak dulu, tetapi akan selalu ada cerita baru di Jakarta. 

image
Stasiun Kampung Bandan
image
Enjoy Jakarta!

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top