Mangrove dan Bencana yang Menjadi Berkah



Saya hampir saja mabuk darat jika hujan tidak turun dan membuat udara menjadi lebih dingin dalam mini bus hari itu. Seharian saya hampir kehabisan nafas karena AC mobil yang menyala tetapi tanpa daya untuk mendinginkan suasana. Hari hampir senja, langit di ufuk barat sudah menujukkan semburat kuning keemasan. Sore itu saya sedang menuju Kampung Ekologi Mangrove, di Dukuh Pandansari, Desa Kaliwingi, Kabupaten Brebes. Sebuah dukuh di utara Brebes, dimana bencana alam tidak menjadi duka yang pilu, tetapi menjadi secercah semangat untuk membagun dusun menjadi lebih maju. 

Muhammad Gunung Bangkit Surya Samudra, nama guide yang menyambut kami hari itu. Senyumnya ketika menyambut kami seindah namanya, yang bagi saya begitu menggambarkan Brebes Sebuah kota pesisir yang juga memiliki pegunungan. Beliau adalah salah satu penggerak ekowisata Mangrove Pandansari. Batal menuju pulau pasir karena karena hari mulai gelap, saya kemudian dibawa menuju hutan mangrove. Perahu fiber yang bersandar di dermaga Pandansari perlahan bergerak menjauh, membawa kami menuju hutan mangrove yang ditempuh sekitar 15 menit dari dermaga. 

Kak dianjuarsa.com dan pemandangan pulau-pulau mangrove di kejauhan
Lautan ini dahulu adalah daratan. Pepohonan itu adalah hutan mangrove tempat kami menuju.
Saya duduk paling belakang, di dekat nahkoda kapal kecil itu. Beliau bercerita tentang dangkalnya lautan tempat kami sedang berlayar. Tidak lebih dalam dari satu setengah meter, ceritanya. Semua yang kini terlihat seperti lautan ini dulunya adalah daratan, cerita mas Bangkit pada seluruh penumpang. Mangrove adalah raja di kawasan ini di masa lalu, sampai kemudian tambak udang membuat manusia gelap mata. Mangrove-mangrove dibabat untuk kemudian dibuat tambak udang. Sampai akhirnya tidak terurus, tambak kemudian tergerus abrasi dan semuanya menjadi lautan.

Abrasi adalah ancaman nyata di Brebes. Puluhan hektar daratan di utara Brebes kini telah tertutupi seluruhnya oleh air laut. Tidak ada lagi lahan untuk bertani garam, atau sekadar bercocok tanam kecil-kecilan. Air laut yang dulu adalah sumber penghidupan, kemudian malah menjadi musuh bersama yang sewaktu-waktu bisa merebut semua harta benda.

Sadar daerahnya telah berkurang luasnya karena abrasi, warga lokal Pandansari pun tidak tinggal diam. Adalah Pak Mashudi, abang dari mas Bangkit yang tergerak untuk memulai gerakan menanam mangrove di Pandansari. Bersama seorang tokoh masyarakat bernama Pak Rusjan, beliau mengajak semua masyarakat untuk kembali menanam mangrove yang telah dibabat habis sejak dua dasawarsa lalu. Menggerakan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Dianggap orang gila dan aneh ketika mendobrak kebiasaan adalah hal wajar. Itulah yang dirasakan oleh Pak Mashudi pada tahun-tahun awal menggagas gerakan ini. Tetapi ketekunan dan progres yang teratur serta terukur adalah pedomannya. Ia tidak teregesa-gesa untuk mengembangkan, namun juga tidak mau terlihat tanpa hasil nyata. 

Perlahan, daerah-daerah dangkal yang ditanami mangrove mulai tampak kembali ke permukaan. Pohon-pohon mangrove yang kini rimbun tampak seperti pulau-pulau kecil di kejauhan. Air laut perlahan bisa ditahan untuk masuk lebih jauh menenggelamkan daratan. Kini ada harapan baru bagi mereka dengan hadirnya hutan mangrove. Tidak hanya menjadi area konservasi, mangrove Pandansari kini menjadi area ekowisata. Wisata ramah lingkungan ini menjadi harapan baru bagi mereka yang tinggal di Pandansari, yang hampir kehilangan asa akibat abrasi yang menghantui.
 
Dari daerah dangkal karena abrasi, kini telah hijau kembali
Rombongan keliling hutan mangrove
Dermaga kayu menyambut saya dan rombongan blogger lainnya saat tiba di hutan mangrove Pandansari. Matahari telah sepenuhnya terbenam. Kami diminta bergegas, agar masih dapat melihat pemandangan di dalam hutan. Setapak demi setapak jalan kayu saya telusuri menembus rimbunnya hutan mangrove. Mas Bangkit bercerita bahwa tempat ini telah dihuni kembali oleh hewan liar. Ular, biawak, kepiting, dan udang adalah penghuni tetap hutan ini. Restorasi ekosistem telah berhasil, dengan kembalinya hewan-hewan muara tadi ke habitatnya. 

Kami dibawa oleh Mas Bangkit menuju gardu pandang di tengah hutan. Dedaunan mangrove yang lebat berhasil menutupi cahaya yang tersisa dari matahari yang telah terbenam. Gelap membuat beberapa diantara kami mengeluarkan senter dari flash telepon genggam. Tidak banyak lagi yang bisa saya abadikan dengan kamera sore itu. Tetapi mendengar cerita mas Bangkit tentang penataan tempat ini kedepannya, lebih mengasikan dari pada sekadar mengambil gambar. 

Keberhasilan ekowisata mangrove Pandansari membuat warga bersemangat untuk melakukan ekspansi hutan mangrove dan menambah keragaman aktivitas yang bisa dilakukan di daerah ekowisata. Kedepannya selain susur hutan, akan ada aktivitas naik perahu kano, penambahan gardu pandang, dan bisa saja berkemah atau menginap di kawasan hutan mangrove. Tidak mau kesalahan masa lalu terulang, kedepannya juga perawatan kawasan ekosistem akan tetap menjadi prioritas ditengah ekspansi kawasan ekowisata. Peraturan tentang sampah akan diperketat, dengan melarang pengunjung membawa sesuatu yang berpotensi menimbulkan sampah di kawasan ekowisata. Pendidikan tentang menjaga kebersihan kepada para pengujung juga akan selalu disampaikan oleh pemandu wisata.
Dari kiri ke kanan: Pak Rusjan, Pak Mashudi, Mas Bangkit
Selain menjaga alam, kedepannya tempat ini juga akan terus menjaga manusianya. Pemberdayaan masyarakat menjadi pelaku usaha wisata digalakkan dengan dibentuknya kelompok sadar wisata. Guest house, ruang pertemuan, tempat makan, dan sarana prasarana wisata lainnya semua dikelola oleh kelompok sadar wisata yang adalah warga Dukuh Pandansari sendiri. 

Sepulang dari hutan mangrove, kami menuju tempat makan malam bernama Cemara Bondan, yang masih berada di Dukuh Pandansari. Hasil laut Brebes menjadi hidangan malam itu. Kepiting, ikan bakar, udang, hingga masakan tumis gulma mangrove sejenis pakis yang tumbuh di dekat pohon mangrove tersaji di atas tikar tempat kami akan makan lesehan. Nikmat malam itu kemdian ditutup dengan minum teh yang diramu dengan daun jeruk, hasil kreasi seorang ibu anggota kelompok sadar wisata. Pak Mashudi, Pak Rusjan, Pak Nurudin, dan Mas Bangkit serta beberapa tokoh masyarakat lainnya yang menemani kami malam itu kemudian melanjutkan cerita tentang betapa optimisnya mereka terhadap pengembangan kawasan ekowisata mangrove Pandansari. Malam itu adalah malam yang begitu manis. Siapa yang tidak akan tersenyum dan bersemangat melihat orang lain begitu semangat dan optimis dalam hidupnya. 

Gelas ketiga teh daun jeruk yang saya tenggak malam itu menjadi gelas terakhir saya di acara makan malam bersama kelompok sadar wisata Ekowisata Mangrove Pandansari. Perut sudah kenyang, hati kembali riang karena telah menerima energi yang baik dari kelompok sadar wisata mangrove Pandansari. Mengubah bencana menjadi berkah bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan tekad, niat, dan konsistensi yang tinggi dalam melakukannya. Dukuh Pandansari Brebes adalah contoh sukses dalam menjaga niat, tekad, dan konsistensi itu. Meski dalam perjalanan pulang kembali ke kota Brebes mobil yang saya pakai AC-nya masih tidak menyala, tetapi saya tidak jadi mabuk darat. Angin segar seolah bertiup dalam mobil kami. Angin segar tentang masa depan Dukuh Pandansari yang baik. Angin segar tentang manusia yang semakin hari semakin bersahabat dengan alam.

CONVERSATION

8 comments:

  1. Emang tuhh mobil tanpa AC nyebelinnn... hahaha.. Tapi buat aku sih, perjalanan ke Brebes kemarin tetap berkesan... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya kak Vika, meski bikin bete, tapi pengalaman itulah yang bikin berkesan. Brebes keren sih kak... a turlly different taste of Java :D

      Delete
  2. Salut sama kekompakan dan persistensi masyarakat disana untuk mengembalikan mangrove dan mengubahnya menjadi daerah pariwisata

    ReplyDelete
  3. Tulis+foto bagusssssss
    Salut ya sama warga Desa Kaliwlingi. Patut dicontoh sama desa-desa lain.

    ReplyDelete
  4. Maaaak ... Kek pujangga nih Ghana. Pilihan katanya, metafora pun ade ... Ckkkk ... Well-said brother! Sukaak!
    Anyway, gue pgn kembali ke pandansari ini dalam kondisi cuaca ceraaaah dan pengen liat migrasi ikan dan burung.

    ReplyDelete
  5. Wah, salut sama Pak Mashudi yang menggerakkan masyarakat untuk penyelematan lingkungan. Ga mudah lho.
    Memang, ekowisata bisa jadi jalan terakhir untuk penyelamatan lingkungan. Selain bisa menggerakkan ekonomi masyarakat lokal dari datangnya turis, ekowisata mengandung unsur pendidikan. Kalau masyarakat lokal sudah belajar banyak merubah bencana menjadi berkah, semoga wisatawan yg ke sana jg bisa belajar mengambil hikmah dan mau belajar soal lingkungan mangrove, ya!

    Wah, di Brebes, yang ada budidaya kepitingnya di sini bukan ya?

    ReplyDelete
  6. Kisahnya hampir sama dengan mangrove di pasirmendit, Kulonprogo. Dulu tempat tersebut merupakan ekosistem mangrove asli namun nyaris habis dibabat warga untuk kayu bakar dan hal-hal lain. Akhirnya ada kelompok warga yang berinisiatif untuk melakukan konservasi kawasan mangrove. Sekarang meski belum selebat dulu setidaknya udah ada lahan mangrove yang bisa jadi penjaga ekosistem pesisir.

    Cuma sayangnya ada pihak yang hanya mengeksploitasi untuk wisata tanpa paham konsep ekoturisme.

    ReplyDelete
  7. Bro, mohon maaf koreksi dikit. Nama bapaknya Mas Bangkit tu Pak Mashadi.. :) Tulisannya keren eniwei. Keep writing!

    ReplyDelete

Back
to top