Bandungan, Pesona Hujan, dan Tahu Serasi


Pagi itu mendung masih pekat. Cahaya matahari nampaknya masih akan lama tampak. Saya kenakan jaket paling tebal dan memakai sarung tangan. Petualangan naik motor menuju dataran tinggi akan segera dimulai. Niat hati sebenarnya sempat urung, mengingat cuaca hari-hari ini kurang mendukung. Tetapi rindu pada ilalang dan embun dingin itu tak mampu terbendung. Ke Bandungan saya menuju, semoga semesta terus mendukung.

Motor melaju pelan mengikuti ritme jalan yang padat merayap di akhir pekan. Selepas melewati gapura Kawasan Wisata Bandungan, udara perlahan sejuk karena posisi permukaan tanah semakin tinggi dari permukaan laut. Saya pun membuka penutup helm membiarkan udara dingin membasuh wajah. Nikmat sekali rasanya menghirup udara segar di hari yang mendung. 

Sesekali perjalanan melambat, karena beberapa truk pengangkut anak pramuka di depan saya harus berpapasan dengan penyempitan jalan akibat acara resepsi perkawinan. Akhir pekan itu sepertinya tanggal baik. Sudah tiga kali ada resepsi perkawinan terlewati. Sayapun harus tetap sabar berada di buntut truk tersebut. Jalanan yang hanya terdiri dari satu lajur membuat saya tidak bisa mendahului dengan mudah.

Sampai di Pasar Kecamatan Bandungan, saya berhenti sejenak di sebuah minimarket. Sambil meneguk sebotol air minum, saya menolehkan pandangan ke sekeliling. Penjual gorengan, buah-buahan, dan tanaman hias berderet tidak jauh dari minimarket. Saya berjalan ke deretan penjual gorengan dan meminta dibungkuskan gorengan campur seharga 10 ribu. Tak terkira saya mendapat sekantong penuh tahu isi, tempe mendoan, tempe gembus, pisang goreng, bakwan sayur, dan singkong goreng. Sungguh nikmat tiada terkira bisa menyantap gorengan yang hangat di tengah cuaca mendung seperti ini. 

Puas menyantap beberapa potong gorengan, saya memacu motor lebih jauh menyusuri jalan yang semakin menanjak. Kawasan Candi Gedong Songo adalah tujuan saya. Meskipun sudah beberapa kali berkunjung ke tempat ini, saya tidak pernah bosan. Jujur, saya memang tidak lagi berkunjung untuk melihat-lihat candi yang tetap akan sama bentuknya setiap kali saya datang. Ke Gedong Songo, saya mencari sebuah suasana. Mencari tempat untuk menyendiri, menyanyikan lagu-lagu sendu di dalam hati sambil tersenyum. Mungkin orang melihat saya sedikit gila, tetapi bius magis Gedong Songo dan pesona lereng Gunung Ungaran memang membuat saya lupa dunia. 

Suasana di Candi Gedong Songo

Candi nan eksotis di lereng Gunung Ungaran
Sensasi duduk di kursi-kursi yang tersebar di lereng-lereng sambil melihat hamparan kebun sayur adalah sebuah pelarian terindah dari kejamnya hidup. Memperhatikan manusia-manusia yang berlalu-lalang adalah kesenangan tersendiri. Ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki sambil tersenyum bersama-sama keluarga. Ada yang memilih duduk-duduk sambil bercengkerama, ada pula wanita-wanita perkasa yang berjualan sambil memikul bakul dagangannya hingga candi tertinggi. Mengamati manusia, mensyukuri nikmat Sang kuasa di kompleks Candi Gedong Songo menegaskan bahwa bahagia itu begitu sederhana.

Puas duduk-duduk hampir dua jam melepas penat dan resah hati, saya ke parkiran motor hendak kembali menempuh jalan pulang. Mendung semakin pekat, saya memacu motor agak kencang agar tidak kehujanan di jalan. Mendadak di sebuah turunan tajam motor saya berbunyi keras di bagian roda, seolah-olah rem cakramnya menempel tidak kembali ke posisi semula. Saya pun bingung sekaligus panik berharap jangan sampai kenapa-napa di tengah turunan curam dan di desa yang entah dimana bengkel terdekat berada. 

Pemandangan jalan menuju Candi Gedong Songo
Bunyi ban semakin terdengar. Desisnya membuat nyilu, dan perputarannya semakin terhambat. Tidak mungkin saya melanjutkan perjalanan sampai Semarang dengan kondisi motor seperti ini. Namun, ternyata semesta benar-benar baik. Tidak lama, di ujung turunan ada sebuah bengkel sederhana di depan sebuah rumah. Segera saya bawa si motor agar diperiksakan sang bapak montir.

Di sebelah bengkel, ada warung yang ternyata milik istri si bapak montir. Warung itu menjual mie instan, dan saya memesan mie rebus rasa soto lengkap dengan telur dan irisan cabai sambil menunggu motor diperiksa. Ternyata yang bermasalah adalah kampas rem nya. Untung si bapak memiliki suku cadang yang dibutuhkan. 

Tidak berapa lama hujan turun dengan derasnya. Aliran air dari arah puncak mengucur deras menuju tempat yang lebih rendah. Mie instan saya pun tiba di saat yang tepat. Sambil menunggu motor dibetulkan dan mendengar konser irama hujan, mie rasa soto itu mendarat di kerongkongan. Tak lupa saya menyeruput kuah dan menyuapkan potongan cabai. Sensasi itu sungguh tidak terlupakan. Di suatu desa di Bandungan, pada sebuah hari hujan, pada motor yang bermasalah, pada semangkok mie instan, saya kembali menemukan bahagia. Terkadang perjalanan menjadi berkesan dengan hal-hal tak terduga seperti ini.

Permadani alam nan permai di Bandungan
Hujan berlangsung cukup lama. Motor saya bahkan sudah selesai diperbaiki saat hujan sedang menari-nari membasahi pokok-pokok bonsai di halaman bengkel. Hari hampir sore, dan saya segerakan untuk pulang agar tidak kemalaman sampai Semarang. Namun, deretan warung Tahu Serasi dan susu kedelai membuat saya tergoda untuk berhenti lebih lama di Bandungan. Tahu Serasi Bandungan itu enak banget. Rasanya kedelainya sangat fresh, padat, dan teksturnya lembut menyerupai tahu sutera. Harganya juga murah meriah, tidak sampai puluhan ribu untuk satu porsi penyajian. 

Tahu goreng yang dicocol sambal kecap dan potongan cabe hijau, serta segelas susu kedelai hangat adalah kenikmatan terakhir saya di Bandungan hari itu. Menatap temaram lampu yang mulai menyala menyambut malam membuat syahdunya hari ini semakin sempurna. Suara Adzan berkumandang, seolah menegaskan rasa syukur akan alam yang indah itu harus terus didaraskan. 

Sejenak suasanya mendadak diam membisu. Hanya ada saya, tahu goreng, dan jalanan basah sehabis hujan yang saling diam namun berbicara dalam isyarat. Karena saya tahu, di Bandungan, Kabupaten Semarang, segenap alam berada begitu dekat dengan saya. Langit bak tinggal menggapai tanpa harus meninggalkan tanah. Dingin adalah pasangan yang tepat agar nikmatnya kehangatan dapat terasa. 

Bagi saya, Bandungan bukanlah soal kemana. Bandungan adalah soal suasana. 






CONVERSATION

2 comments:

  1. Ceritanya, fotonya, bikin pembaca merasakan seolah sedang berada di sana, thanks Ghana..

    ReplyDelete
  2. Aku jadi pengen ke Bandungan buat makan gorengan deh Ghana hahaha

    ReplyDelete

Back
to top