Mengabadikan Malioboro Hingga Pasar Beringharjo

Menghabiskan waktu di Jogja di hari ke dua lebaran, saya pergi ke tempat yang jutaan orang tentu sudah mengenalnya: Jalan Malioboro. Bagi saya, Malioboro adalah pertemuan pertama saya pada pasar yang menjual cinderamata nan ramai, pada tempat berkumpulnya turis yang tidak habis-habis. Hari itu, saya menghabiskan berjam-jam duduk, berkeliling, duduk, berkeliling, bernostalgia ketika pertama kali saya ke Jogja bersama ibu belasan tahun lalu. 

Tentu Jogja selalu berkesan bagi saya di setiap kunjungan. Siapa yang tidak membawa perasaannya ketika bertandang di kota ini. Manusia Jogja adalah daya tarik nan luar biasa yang mampu "membaperkan" hati. Buktinya, ada banyak cinta bermula di kota ini. Tuhan sungguh sayang Jogja dan manusianya, karenanya kota ini begitu mempesona meski bersahaja. 

Kembali menyoal Malioboro hingga Beringharjo, hasil duduk dan berjalan saya hari itu adalah serangkaian foto portrait dari kawasan yang kini jauh lebih tertata dibanding terkahir saya bertandang ke tempat ini. Berbekal kamera telepon genggam, saya mencoba menangkap yang kadang terlupa dari sisi jalan ini: manusia-manusia nan bersahaja.

Rasa-rasanya pasar ini tidak pernah sepi. Dari bayi hingga lansia memenuhi sudut-sudut lorong sempit pusat belanja ini.
Pertukaran uang di pasar ini adalah sebenar-benarnya bentuk ekonomi rakyat.
Berbagai selera tersedia dari KW hingga Original.
Ada berita apa hari ini? Semoga semua sehat, tidak ada yang kawin lagi jangan ada yang kawin lari.
Boleh berhenti sejenak dari keramaian ini? Dunia mimpi memanggil sejenak untuk dikunjungi.
Pasokan lusinan kaos untuk hari ini.

Pasar mungkin saja tentang pertukaran uang. Tentang bertemunya penjual dan pembeli. Tetapi pasar juga tentang ekonomi rakyat yang sebenar-benarnya. Seorang teman berkata, Dollar boleh naik, bank boleh hengkang, namun selama pasar tradisional masih ada dan ramai, maka ekonomi negeri akan tetap kokoh. Rasa-rasanya tidak pernah saya melihat kegetiran ketika mendengar kenaikan Dollar di wajah para pedagang pasar ini. Entah karena tidak mengerti, atau karena memang tak ada pengaruhnya sama sekali.

Pecel, mie, tempe bacem, atau nasi dan gorengan saja untuk makan siang?
Sate di Malioboro lontongnya pakai ketupat sisa keriaan lebaran.
Dawet atau Coca-Cola?
Mas, tolong kalau foto jangan buram begitu.
Minum Es Teh sambil menghirup Marlboro di Malioboro?
Es Krim Cincau Durian yang ramai pembelinya.
Kedai malam yang buka sejak terang.
Lumpia, putu, cenil, onde-onde yang paling enak seantero jalan Malioboro - Beringharjo
Sate Madura dulu kawan, sambil duduk santai menikmati senja yang keemasan.

Harus habis hingga tetes terakhir.
Ada banyak ragam kuliner di sepanjang Jalan Malioboro hingga Pasar Beringharjo. Dari yang tempatnya terlihat dari pinggir jalan, sampai yang perlu blusukan di lorong-lorong pasar. Murah dan enak adalah kunci kelarisan panganan. Cobalah Lumpia yang dijual sore hari di depan Pasar Beringharjo, tidak pakai rebung sehingga berbeda dengan Lumpia Semarang. Rasanya manis, gurih, ada isian telur puyuh dan ayam. Bagi saya enak sekali. Tak perlu takut melepas dahaga, karena selewat pandangan mata, selalu ada yang menjunjung minuman segar untuk anda.

Deretan sate madura mengasapi langit senja Jogja
Turis, wisatawan, atau pejalan?
Tentunya bukan BAD GIRL sebenarnya. Semoga.
Jajanan kecil. Mainan lawas.
Mengangkut berkodi-kodi kain di dalam peti.
Yang berwarna di tengah yang sama.
Benteng terakhir ekonomi negeri.
Dan, dari semuanya selalu menghasilkan sisa.

Demikianlah Malioboro hingga Beringharjo. Seiring senja saya tinggalkan kawasan yang tak pernah sepi ini. Semoga, jika kembali lagi nanti, masih ada cerita berkesan yang sama, dengan manusia-manusia dan sudut-sudut hangat lainnya.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top