Singapura Sebulan Sebelum Pandemi Covid-19



11 Januari 2020, saya membaca berita tentang penyebaran virus baru di kota Wuhan, China di dalam bus yang mengantarkan saya menuju pesawat. Hari itu, saya hendak menuju Singapura untuk perjalanan akhir pekan. Siapa sangka, sejak perjalan itu dunia tak akan lagi sama. 

Lima tahun terakhir, setiap jelang tahun baru Imlek, saya selalu usahakan untuk berkunjung ke Singapura. Saya suka dengan suasana jelang tahun baru di sini, baik yang gegap gempita di Chinatown, maupun yang sederhana di kios-kios HDB. Seperti biasanya pula, saya selalu menginap di Ann Siang, Chinatown. Ada banyak hostel murah dan bersih yang mendukung pejalan budget seperti saya.

Sama seperti perjalanan saya sebelumnya, saya tidak punya rencana jelas. Sepertinya saya hanya akan mengulang-ulang saja apa yang saya lakukan seperti biasa. Makan Tiong Bahru Lemon Chicken Rice di Chinatown, menghabiskan malam di bar, naik bus berkeliling, minum es teh O di Heap Siong Leong, dan tentunya makan Nam Ya Pa di Golden Mile Complex. 

Namun, ketika tiba di bandara saya iseng untuk mengambil MRT ke Vivo City dan menyeberang ke Sentosa. Saya mencoba menjelajahi pulau dari Universal Studio hingga Fort Siloso. Asik juga ternyata menikmati perjalanan menyusuri hutan lebat nan sepi padahal tak jauh dari pusat rekreasi yang riuh dengan manusia. Saya habiskan siang itu dengan duduk di pulau kecil ditemani burung laut dan lalu lalang ferry dari Batam.

Golden Mile Complex adalah tempat yang hampir selalu saya kunjungi ketika ke Singapura. Di tempat ini saya bisa melihat sisi lain Singapura yang amat manusiawi. Golden Mile Complex adalah sebuah bangunan multi fungsi dengan arsitektur brutalis, salah satu yang paling ikonik di Singapura. Lokasi ini terkenal sebagai pusat peradaban Indochina, karena menjadi titik keberangkatan bus antar negara yang menempuh perjalanan panjang hingga Thailand dan Vietnam. 

Di Golden Mile Complex, saya berkunjung ke supermarket dan membeli beberapa produk Thailand dan Vietnam. Harganya amat murah, barang-barangnya autentik. Dari sekadar membeli produk, saya jadi terbayang keseharian hidup masyarakat di Thailand dan Vietnam. Saya juga berkunjung ke kios masakan Thailand sederhana milik Thip, seorang imigran Thailand di Singapura. Saya jatuh cinta dengan masakan Nam Ya Pa - sejenis Pho namun dengan kuah pasta ikan yang pedas - yang tersedia di kiosnya. Rasanya selalu sama: nikmat tiada tara. Perpaduan kuah kental pedas, mie beras yang lembut, ceker ayam yang empuk karena dimasak lama, juga wangi kemangi merupakan puncak orgasme rasa di mulut saya. 

Selebihnya, saya menghabiskan hari di Chinatown yang sudah bersolek menyambut imlek. Daging ham utuh dan sosis babi bergelantungan di kios-kios semi permanen di kedua sisi jalan area Chinatown. Penjual jeruk, lampion, dan hio berdampingan dengan para wisatawan dari berbagai penjuru negara. Bar-bar masih penuh dengan pengunjung. Musik mengalun sepanjang malam. Seven Eleven favorit jutaan umat di Chinatown tidak pernah sepi meski waktu sudah tengah malam. Dari balkon hostel, saya sibuk mengabadikan Budha Tooh Relic Temple yang tegak melawan keseragaman bangunan modern di sekitarnya. Saya hirup udara tengah malam dalam-dalam, melepaskan penat hidup, merenungkan perjalanan hidup saya. Ternyata, tak sampai dua bulan kemudian berita virus di China yang saya anggap angin lalu kala itu menjadi berita di seluruh dunia. 

Melepas Penat di Sentosa

Peraturan menikmati objek wisata

Jembatan apung menuju pulau kecil

Akhir pekan di pantai

Supermarket di Golden Mile Complex

Nam Ya Pa

Kuil kecil di Golden Mile Complex

Salon di Golden Mile Complex

Heap Seng Leong

Berdiskusi kabar burung

Menghabiskan senja hari

Persiapan hari raya

Malam di Chinatown

Langit bersih Singapura

Semoga dunia cepat pulih



CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top