Dari Mandala Bhakti, Masjid Layur, Hingga Kota Lama


image
Jalan panas dan berdebu menemani langkah kami menuju halte bus rapid transit terdekat. Nafas kami tercekat oleh asap knalpot bus-bus rombeng yang keneknya terus berteriak ke arah kami, meski kami telah menggelengkan kepala tanda menolak tawaran. Haus melanda kerongkongan kami yang tidak satupun ingat untuk membawa bekal air minum sebelum berangkat. 


Dalam kepala terngiang minimarket di seberang jalan yang memajang segala macam air minum sejuk, yang seolah memanggil kami untuk menerobos lalu lintas dan membeli seteguk kesegaran disana.  Syukurlah bus segera datang, kami tidak jadi terlena nikmat di siang bolong itu, dan dahaga bisa sedikit terobati oleh deru AC bus Trans Semarang yang menjemput kami menuju Museum Mandala Bhakti. 

Saya dan dua orang teman memutuskan untuk menjelajahi bangunan bersejarah Kota Semarang hari itu. Sebagai mahasiswa rantau di Semarang, mengenal sejarah kota rantauan adalah wajib bagi kami, supaya bisa berbaur dan belajar kearifan lokal setempat. Saya kebetulan sudah selangkah lebih jauh dari dua teman saya dalam menjelajah kota ini, sehingga saya dipercaya menjadi pemandu jelajah mereka. Berteman dengan warga lokal dan membiasakan diri tersesat membuat saya lumayan hapal jalanan dan objek tersembunyi kota.
image
Ruangan dalam museum
Destinasi pertama kami adalah Museum Mandala Bhakti. Museum ini terletak strategis di pusat kota Semarang, di daerah sekitar monumen Tugu Muda. Sayang memang, tidak banyak yang menyadari eksistensi museum yang terletak persis di seberang Lawang Sewu, gedung bersejarah yang tersohor itu. Kami sengaja tidak memilih Lawang Sewu untuk dijelajahi, karena kebetulan tempat itu seolah merupakan tempat wajib kunjung setiap wisatawan. Perjalanan kali ini, kami lebih memilih lokasi yang belum pernah atau jarang dijelajahi oleh orang kebayakan. Tak kalah dari Lawang Sewu, Museum Mandala Bhakti ini juga menyimpan cerita masa lalu yang berharga. Mulai dari fungsi bangunan sebagai bekas pengadilan rakyat waktu zaman Belanda, hingga markas Tentara Nasional Republik Indonesia di Jawa Tengah, pernah dijalani museum ini. Tempat ini menyimpan sepenggal cerita yang belum hilang ditelan masa, tetapi hampir terlupa oleh para generasi muda.
image
View dari museum tentara
Kami turun di halte Rumah Sakit Tentara Bhakti Wira Tamtama. Udara panas khas kota pesisir masih terus menemani langkah kaki kami di kota Semarang. Dari halte rumah sakit tempat kami turun, kami hanya perlu berjalan sekitar tiga menit untuk mencapai Museum Mandala Bhakti. Trotoar kami telusuri untuk menuju gerbang masuk museum yang seolah menunggu dengan bijak di kejauhan, menyimpan kisah-kisah heroik tentara di zaman perjuangan kemerdekaan.

Memasuki pintu gerbang museum, kami disambut bangunan berlantai dua dengan arsitektur art deco.  Kami langkahkan kaki menuju pintu masuk tunggal museum, yang segaris lurus dengan meriam dan tiang bendera di hadapannya.  Begitu sampai di pintu masuk museum, kami celingukan mencari loket tiket masuk. Sepi, sunyi, dan mencekam seolah menyambut kami di kali pertama bertandang ke tempat ini. Nekat, kami mencoba berkeliling ke museum siapa tahu bertemu petugas dan kemudian melapor maksud kedatangan. Lima menit berkeliling, masih belum ada seorangpun yang kami temui. Seolah lupa belum melapor pada siapapun, kami semakin asik melihat-lihat peninggalan sejarah di museum ini. Lantai satu museum terdapat infografis tentang kemiliteran di Indonesia. Terdapat pula bekas-bekas senjata milik para tentara sewaktu masih sering berperang. Saya sempat naik ke sebuah kendaraan lapis baja untuk berpose ala-ala tentara. Keren rasanya berdiri gagah diatas tank-tank tempur seperti para tentara pembela kemerdekaan.
image
Saya diatas sebuah kendaraan lapis baja
image
Nggak kuat mendengar panggilan buku-buku tua di tempat ini.
Semakin dalam menjelajahi museum, kami menemukan ruangan perpustakaan. Buku-buku tua dari berbagai pengarang terpajang renta terlapis debu-debu. Seorang ibu berpakaian seragam tentara tampak dalam ruang tersebut. Akhirnya satu orang petugas kami temukan di gedung ini. Seletah melapor maksud kedatangan, kami baru tahu bahwa saat kami datang adalah jam istirahat makan siang, yang menjadi sebab museum ini begitu sepi petugas. Setelah kami bertanya perihal tiket masuk, barulah kami tahu bahwa masuk ke museum ini tidak dipungut biaya. Melihat banyaknya yang bisa dipelajari dari museum ini, sangat beruntung rasanya jika tamu tidak perlu membayar untuk melihat kedalamnya. 

Dari semua bagian museum, perpustakaan museum ini adalah bagian yang paling menarik bagi kami. Buku-buku yang sudah tiada di pasaran terpampang nyata di hadapan kami. Jilidan tua hukum perang, hukum-hukum internasional, hingga koran-koran tua dari zaman tahun 40an ada di tempat ini. Ibu petugas mengatakan, bahwa beberapa mahasiswa sejarah sering pergi ke museum ini hanya untuk mencari buku yang tidak ada di perpustakaan kampusnya. Ilmu memang tidak pernah termakan zaman, meski buku tempat menulisnya hampir lapuk termakan rayap dan ngengat akibat kurangnya perawatan. Entah karena tanpa retribusi atau memang minimnya sumberdaya manusia, museum ini hanya mempekerjakan sedikit tenaga pengelola yang membuat mereka seolah kewalahan menjaga aset pusakanya.
Kursi dan lukisan tua di museum
Puas berpose ria berlatar alutsista negeri yang sudah tua, kami kembali menyusuri trotoar lebar kota atlas ini. Menyusuri jalan Pemuda, kami meneruskan langkah kaki menuju tempat makan yang sudah tersohor sejak puluhan tahun lalu untuk menunaikan makan siang. Nasi Goreng Pak Karmin, adalah nasi goreng khas Semarang yang konon sudah berdiri bahkan sejak Pasar Johar Semarang baru berdiri. Menu spesial tempat makan ini adalah nasi goreng babadnya, juga terdapat gongso babad dan menu lainnya bagi anda yang tidak selera dengan babad sapi. Dengan bumbu kecap khas yang juga asli Semarang, warung ini menyajikan nasi goreng yang sedap dengan telur dadar diatasnya. Warung makan yang buka disiang hari ini berdiri di tepi kali Mberok, tepat disamping Gedung Keuangan Negara. Dengan pemandangan kota lama di seberang kali, makan di tempat ini seolah memboyong anda untuk mengenang kembali masa keemasan kota lama Semarang. 

Setelah puas makan kuliner tersohor nasi goreng babad khas Semarang, kami lanjutkan jelajah dengan memblusuk ke Kampung Melayu, tak jauh dari warung nasi goreng Pak Karmin. Menyebrangi jalan, kami mulai menyusuri kali Mberok ke arah utara, yang sejak beratus tahun lalu sudah menjadi persinggahan para pedagang Arab dan Melayu. Kampung Melayu yang kami kunjungi adalah sebuah komplek pemukiman di pinggir kali Mberok yang menyimpan sekelumit kisah tentang asal mula perniagaan kota pelabuhan ini. Semarang terkenal karena menjadi salah satu bandar besar di masa lalu. Hingga hari ini, eksistensinya sebagai kota bandar niaga juga masih melekat dengan terus berkembangnya kawasan pelabuhan dan aktivitasnya. Kampung Melayu menjadi salah satu lokasi pendaratan pedagang dari Arab, Persia dan Malaya untuk melakukan pertukaran barang dan jasa di Semarang. Cerita masa lalu tentang aktivitas tersebut membuat kami membayangkan dalam, lebar dan lancarnya kali Mberok pada masa itu. Hari ini kali Mberok tampil berair kotor dan menyebarkan bau yang tidak sedap. Kali Mberok malah lebih sering menjadi salah satu penyebab banjir di kota Semarang. Utopia rasanya membayangkan kali ini kembali menjadi kanal, yang bahkan orang Belanda menyebutnya sebagai Venesia van Java di masa lalu.
Masjid Layur
Interior dalam Masjid
Perniagaan yang terjadi di kampung Melayu membuat kampung ini menjadi tempat tinggal sementara para pedagang dari negeri-ngeri jauh. Dari sekadar tempat tinggal sementara, lama kelamaan daerah ini menjadi rumah tinggal tetap bagi para pedagang asal Arab dan Malaya. Kampung ini bernama kampung Melayu juga tak pelak karena banyaknya orang Melayu yang tinggal di masa lalu. Untuk memenuhi kebutuhan harian, maka segala fasilitas dibangun mulai dari perumahan hingga rumah ibadah. Salah satu rumah ibadah yang tersohor di tempat ini adalah Masjid Layur atau Masjid Menara. Masjid yang sudah berdiri sejak abad ke depalan belas ini menjadi tujuan kami untuk sekaligus menunaikan kewajiban agama dan beristirahat dari gempuran sinar ultraviolet yang membuat kulit kami mulai tampak kemerahan. 

Masjid ini terletak persis di tepi kali Mberok. Bangunan Masjid tidaklah terlalu besar, dan lebih bergaya bangunan lokal dengan atap model limas. Hal yang membuat masjid ini menarik adalah menaranya yang menjulang tegak diantara rumah-rumah di Kampung Melayu. Menara dengan gaya seperti mercusuar ini mejadi alat untuk mengumandangkan Adzan bagi warga sekitar, sekaligus menjadi menara pengawas pada masa lalu. Sayang waktu kami bertandang masjid sedang sepi, dan tidak ada penjaga yang bertugas mengurusi menara. Kami pun tidak bisa naik dan harus puas mengaso di teras masjid. Ketika matahari dirasa sudah cukup bersahabat, kami melanjutkan perjalanan menuju kota lama Semarang. Kami susuri jalanan paving block Kampung Melayu yang di kanan kirinya tergenang air selokan yang tidak lancar mengalir. Bangunan-bangunan tua berdiri usang, kontras dengan ruko-ruko baru di sebelahnya. Sepertinya ruko-ruko itu akan segera menjadi tempat niaga baru dan perlahan menggusur rumah-rumah tua usang yang sudah tak representatif lagi untuk diajak berniaga di zaman modern.
Sisi lain kampung Melayu menuju kota lama
Perjalanan masih panjang
Jalan pulang dari Masjid Layur yang kami pilih agar menyusuri samping rel kereta api, mengantarkan kami sampai di kawasan kota tua Semarang. Tempat ini sebenarnya bukan lokasi yang asing bagi kami, bahkan bagi banyak pengunjung kota Semarang. Bangunan ikonik Gereja Blenduk dan Taman Sriguntingnya seolah sudah menjadi atraksi yang wajib dikunjungi oleh para wisatawan di kota ini. Tetapi kami tidak memilih untuk langsung mendatangi pusat keramaian itu. Kami memulai penjelajahan kota lama Semarang dari menyusup ke gedung-gedung kantor tua yang tinggal menyisakan pekerja yang berberes pulang karena sore sudah hampir menjelang. Sejak zaman Belandapun, kawasan kota lama Semarang memang sudah merupakan kompleks perkantoran. Gedung-gedung yang hari ini masih bertahan dan difungsikan, merupakan kantor-kantor cabang CV dan Firma yang masih mampu bertahan dari gerusan zaman, atau sekadar gudang penyimpanan. Kebanyakan kantor yang masih bertahan adalah kantor jasa ekspedisi, mengingat lokasi kota ini yang tidak jauh dari jalan poros dan pelabuhan.

Tangga demi tangga kami naiki dalam gedung kantor sebuah CV ekspedisi itu. Sepi khas bangunan tua mengelayuti seisi gedung. Sekilas terdengar bunyi pintu-pintu berderit tanda adanya kehidupan dalam gedung ini. Di lantai dua, kami bertemu seorang karyawan kantor dan mengutarakan maksud untuk melihat-lihat gedung. Semula kami takut ditolak, tetapi sang karyawan dengan senyum mengizinkan, hanya jangan sampai masuk kedalam ruang kerja, ujarnya. Balkon ala hindis menyambut kami yang melihat-lihat pemandangan kota lama dari lantai dua gedung itu. Terbayang di jalan-jalan di hadapan kami noni-noni bersepeda dengan gaun putih dan bertopi bulu angsa, berkeliling kota untuk membeli kebutuhan sehari-hari dari toko-toko niaga, atau sekadar menuju societit di jalan Bojong, demi berdansa-dansi dengan para kekasih hati. Mengenang imperialimse Eropa yang sampai hari ini masih terasa di tiap relung kota lama, sungguh menarik untuk dilakukan.
Dari kantor-kantor klasik di blok-blok kota lama, kami menuju Gereja Blenduk yang ikonik itu. Puas berfoto-foto ria khas anak muda di luar gereja, kami mencoba menelisik ke dalam gereja. Setelah membayar uang retribusi untuk perawatan gerja, kami diatar sang penjaga masuk kedalam gereja protestan tertua di Semarang ini. Orgel pipa menggantung gagah di kejauhan dengan hiasan patung malaikat di sekitarnya. Altar khotbah, dan alat perjamuan tersimpan rapi di sudut lain. Kubah ikonik gereja ini juga menambah efek gagah bagunan di bagian dalam, seolah mengingatkan umatnya akan keagunagan Tuhan. Puas melihat-lihat, kami pamit pada penjaga dan melanjutkan jelajah ke sebuah gereja Katholik tak jauh dari gereja Blenduk. Gereja Gedangan merupakan gereja Katholik pertama yang didirkan di kota Semarang. Sebelum katedral Semarang di daerah sekitaran tugu muda berdiri seperti hari ini, gereja ini juga pernah dijadikan katedral, tempat Uskup Agung Semarang bertahta. Tempat ini juga menjadi saksi penthabisan Uskup Agung pribumi pertama yaitu Mgr. Soegija Pranata, yang juga diangkat menjadi pahlawan nasional. Sayang ketika kami mencoba masuk, gereja ini sudah tidak melayani pengunjung karena hari sudah hampir larut. Kami harus puas mengambil gambar dari luar gedung gereja.
Gereja yang berdinding merah
sepinya kota lama
Cahaya keemasan senja sudah hampir hilang di ufuk barat. Malam menjelang, dan lelah mulai menjalari tubuh-tubuh kami. Berjalan kaki dari siang bolong hingga sore hari ditemani panas terik matahari cukup membuat kulit kami terasa terbakar. Kami bergegas menuju halte BRT kota lama dan mengejar bus terakhir menuju kediaman kami di daerah selatan kota. Hari ini kami telah belajar menghargai suatu proses. Tempat yang kami datangi memang tidak banyak, tetapi proses perjalanan adalah hal yang paling menyenangkan. Melihat bangunan tua di kanan dan kiri jalan, mencoba menerka-nerka apa yang terjadi beratus-ratus tahun lalu ditempat kaki kami memijak, adalah hal yang tidak akan terjadi tanpa kami nekat untuk berjalan kaki. Begitu pula proses perjuangan merdeka, perjuangan berusaha, perjuangan menyebarkan kasih, dan perjuangan menciptakan hidup yang lebih baik, tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang diperjuangkan. Hal itulah yang kami yang kami dapatkan dari para saksi bisu gedung-gedung tua kota Semarang. Sungguhlah pejuang-pejuang masa lalu itu gugur jaya dengan menunaikan proses yang mereka telah emban semasa hidupnya. Kita tidak akan selalu menang dan berhasil memang, tetapi selama proses masih ada, maka pupus harapan pantang hukumnya.

*Cerita ini sebenarnya sudah lama ditulis, awalnya untuk sebuah media tetapi sepertinya blog adalah tempat yang lebih tetap untuk membagikannya.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top